Liputan6.com, Gaza - Suatu hari di bulan Ramadhan, anak-anak Palestina, para perempuan muda dan pria terlihat tengah berbaris sambil memegang wadah makanan kosong. Mereka sedang menunggu untuk wadah itu diisi dengan kentang dan semur daging giling hangat di Jalur Gaza selatan.
Dapur amal, atau T'kias, semakin populer di bulan suci Ramadhan. Para penyelenggara menawarkan makanan hangat kepada keluarga yang hidup dalam kemiskinan, yang jumlahnya banyak di wilayah yang diblokade Israel ini.
Baca Juga
Bait Al-Maqdes T'kia, atau dapur umum, dibuka di kota Rafah enam bulan lalu. Sepanjang tahun, keluarga yang kurang mampu bisa mendapatkan makanan dua hari dalam seminggu. Namun, dapur umum ini beroperasi setiap harinya di bulan Ramadhan.
Advertisement
"Kebutuhan masyarakat dan kemiskinan meningkat akibat pengepungan Gaza dan banyak orang tidak punya makanan di rumah. Gagasan dapur umum ini adalah untuk menawarkan makanan siap saji kepada orang-orang, demi meringankan situasi sulit yang mereka alami," ujar Saqr Al-Qaysim, pemilik "Dapur Rafah" kepada Associated Press.
Bantuan amal dan dukungan sosial meningkat di bulan Ramadhan, di mana para donatur dan organisasi menyumbangkan lebih banyak makanan untuk keluarga, dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (5/4/2023).
Gaza selalu mengalami kemiskinan. Sementara itu, kondisi sekitar 2,3 juta orang yang tinggal di wilayah pantai yang padat itu terus memburuk sejak kelompok militan Islam Hamas merebut kekuasaan pada tahun 2007.
Kesulitan bagi para penduduk pun bertambah di bulan Ramadhan ini, di mana pajak besar dikenakan oleh Hamas, seiring dengan melonjaknya harga pangan global akibat perang dan masalah rantai pasokan.
Bank Dunia melaporkan bahwa tingkat kemiskinan di Gaza mencapai lebih dari 50 persen.
Palestina dan Israel Bertemu di Mesir dalam Upaya Menurunkan Tensi Jelang Ramadhan
Sementara itu, pejabat Israel dan Otoritas Palestina (PA) bertemu di Mesir dalam upaya untuk meredakan ketegangan antara kedua belah pihak dan mengendalikan kekerasan menjelang bulan suci Ramadhan.
Pertemuan satu hari, yang juga dihadiri oleh pejabat Mesir, Amerika Serikat (AS), dan Yordania, berlangsung pada Minggu (19/3/2023) di kota peristirahatan Sharm el-Sheikh.
Situasi di lapangan sendiri saat ini tengah tegang menyusul seringnya penggerebekan dan pembunuhan terhadap warga Palestina oleh tentara Israel di bawah pemerintahan berhaluan kanan ekstrem pimpinan Benjamin Netanyahu yang dilantik akhir tahun lalu.
Pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir menyebutkan bahwa pembicaraan di Sharm el-Sheikh bertujuan untuk mendukung dialog antara Palestina dan Israel demi menghentikan tindakan dan eskalasi sepihak serta memutus siklus kekerasan yang ada dan mencapai ketenangan.
"Ini dapat memfasilitasi terciptanya iklim yang cocok untuk dimulainya kembali proses perdamaian," sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir seperti dilansir Al Jazeera.
Pada Sabtu (18/3), pejabat PA Hussein al-Sheikh mengatakan, "Delegasi Palestina berpartisipasi untuk membela hak-hak rakyat Palestina atas kebebasan dan kemerdekaan dan meminta diakhirinya agresi Israel yang terus menerus terhadap kami serta untuk hentikan semua tindakan dan kebijakan yang melanggar darah, tanah, harta benda, dan kesucian kami."
Menurut media Israel, Penasihat Keamanan Nasional Tzachi Hanegbi memimpin delegasi Israel, bersama dengan Kepala Intelijen (Shin Bet) Ronen Bar dan jenderal militer Ghassan Alian.
Advertisement
Menuai Penentangan di Dalam Negeri Palestina
Semua partai politik utama Palestina, kecuali Fatah yang menjalankan PA, menentang pembicaraan dengan Israel dan menyerukan boikot.
Juru bicara Hamas Mousa Abu Marzouq mengatakan pada Jumat (17/3) bahwa otoritas Eropa dan AS mengeluarkan pernyataan tentang kejahatan pendudukan (Israel), namun tidak mengambil tindakan apa pun untuk menekan Israel menghentikan kejahatannya.
Dalam pernyataan bersama, partai politik Jihad Islam Palestina (PIJ) dan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) mengatakan, langkah PA berpartisipasi dalam pertemuan di Sharm al-Sheikh merupakan kudeta melawan keinginan rakyat.
Mereka mengatakan, Israel memanfaatkan pertemuan tersebut untuk melancarkan lebih banyak agresi terhadap rakyat Palestina.
Pembicaraan pada Minggu dilakukan setelah pertemuan serupa sebelumnya di Yordania bulan lalu, yang juga mendapat tentangan luas dari dalam negeri Palestina.
Dalam pertemuan di Aqaba, Yordania mengklaim Israel setuju untuk berhenti menindaklanjuti pemukiman ilegal baru selama beberapa bulan. Namun, Israel membantah telah membuat komitmen semacam itu.
"Berlawanan dengan laporan dan twit tentang pertemuan di Yordania, tidak ada perubahan dalam kebijakan Israel," kata Penasihat Keamanan Nasional Israel Tzachi Hanegbi saat itu.
Israel tidak hanya membangun ratusan pemukiman ilegal -rumah bagi sekitar 700.000 pemukim Israel- namun juga pos-pos militer di sepanjang Tepi Barat yang diduduki, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Kebijakan tersebut menghalangi kemungkinan berdirinya negara Palestina merdeka di wilayah-wilayah tersebut, yang diduduki Israel pada tahun 1967.
Data Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan bahwa pasukan dan pemukim Israel telah membunuh setidaknya 89 warga Palestina, termausk 18 anak-anak dan seorang wanita, sepanjang tahun 2023.