Liputan6.com, Jakarta Tidak banyak yang tahu bahwa doa berbuka puasa yang kita kenal selama ini ternyata berasal dari hadits dhaif. Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.
Suatu hadits disebut sebagai hadits dhaif karena tidak bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya.
Advertisement
Baca Juga
Meski demikian, ada banyak sekali hadits dhaif yang telah disebarkan. Bahkan banyak di antaranya yang sudah terlampau sering diamalkan oleh sebagian besar muslimin.
Jika sudah demikian, bolehkah kita mengamalkan hadits dhaif? Berikut penjelasan selengkapnya seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Sabtu (8/4/2023).
Macam-Macam Hadits
Sebelum membahas lebih jauh tentang apakah boleh mengamalkan hadits dhaif, penting bagi kita untuk memahami macam-macam hadits berdasarkan tingkatan atau kualitasnya. Adapun macam-macam hadits berdasarkan tingkatan kualitasnya adalah sebagai berikut:
1. Hadits Shahih
Hadits shahih adalah hadits yang sehat dan tanpa cacat. Artinya, para ulama hadits menilai bahwa hadits shahih adalah suatu hadits betul-betul bersumber dari Rasulullah SAW.
2. Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang baik. Artinya, para ulama menilai bahwa suatu hadits ada sedikit kelemahan, tetapi secara keseluruhan baik. Hal ini juga berarti para ulama hadits yakin bahwa hadits hasan adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW.
3. Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah hadis yang lemah. Artinya, para ulama menilai bahwa hadits ini memiliki kelemahan yang cukup serius sehingga menyebabkan mereka kurang yakin bahwa hadits tersebut bersumber dari Rasulullah SAW.
4. Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ adalah hadits palsu. Artinya, para ulama yakin bahwa suatu hadits tidak bersumber dari Rasulullah SAW, bahkan dibuat-buat.
Hadits dhaif tidak sama dengan hadits maudhu’, atau palsu. Hadits dhaif memang dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan ataupun kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sementara hadits maudhu’ ialah informasi yang mengatasnamakan Rasulullah SAW, tetapi sebenarnya bukan perkataan Rasulullah SAW.
Advertisement
Bolehkan Mengamalkan Hadits Dhaif?
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh digunakan dalam hal apa pun. Adapun alasan untuk tidak boleh mengamalkan hadis dhaif adalah karena sikap kehati-hatian mereka dalam menyikapi suatu hadis.
Namun mengingat bagaimana hadits dhaif bukan hadits palsu, maka para ulama sepakat bahwa mengamalkan hadits dhaif dibolehkan. Tidak jarang suatu hadis yang awalnya dinilai lemah, kemudian naik pangkat menjadi ‘hasan’ atau ‘sahih’ setelah diteliti lebih lanjut.
Intinya, sebagian besar ulama memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif, selama hadits tersebut tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah, dan hukum Islam (fikih).
Para ulama hadis seperti Imam Ibnu Mubarak dan Imam Ahmad bin Hanbal, menilain bahwa hadits dhaif tetap ada manfaatnya.
Ketika Imam Ibnu Mubarak ditanya apa yang harus dilakukan dengan hadis dari seorang perawi yang lemah, beliau menjawab bahwa hadis itu “tidak boleh digunakan sebagai bukti (dalil) dalam hal fikih.” Namun, “boleh meriwayatkan hadis itu dalam hal sopan santun (adab), dakwah yang baik (mauizah), zuhud, dan hal-hal semacam itu.”
Contoh Hadits Dhaif yang Populer di Bulan Ramadhan
Berikut adalah sejumlah contoh hadits dhaif yang cukup populer, terutama ketika masuk bulan Ramadhan.
1. Dari Anas radhiyallohu anhu adalah Nabi shallallohu alaihi wasallam berdoa agar diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, maka jika beliau sudah berada di bulan Rajab, beliau berdoa: “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan” [HR. Ahmad (2342) dan Thobrani dalam Al Mu’jam al Awsath (4/149/no.3939); lafal hadits ini bagi beliau]
Dalam sanad hadits ini ada dua perowi yang lemah, yakni Zaidah bin Abu Ruqad Al bahili dan Ziyad bin Abdullah An Numairi. Meski demikian ukan berarti kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut, sebab tidak pernah ada larangan untuk berdoa kepada Allah SWT setiap bulan Rajab dan Sya'ban.
2. Diriwayatkan oleh Salman radhiyallohu anhu beliau berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkhutbah pada hari terakhir di bulan Sya’ban, beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia kalian telah dinaungi bulan agung nan diberkahi …,bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya magfirah (pengampunan) dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka….” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya (3/191 no.1887)]
Hadits ini lemah, Ibnu Khuzaimah sendiri telah mengisyaratkan hal itu, karenanya beliau memberi judul hadits ini : “Keutamaan bulan Ramadhan jika haditsnya shohih”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi.
Dalam isnadnya ada kelemahan, padanya ada Abul Hasan Ali bin Zaid bin Ju’dan At Taymi dan dia adalah seorang yang lemah menurut para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Yahya bin Said Al Qaththan rahimahumullohu ta’ala jami’an. Abu Hatim mengatakan bahwa hadits ini mungkar sebagaimana yang dinukil oleh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah.
3. Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwa sesungguhnya ia telah sempai kepadanya bahwasannya Nabi Shallallahu Alalihi Wasallam jika berbuka, ia berkata,”Allahumma lakashumtu wa'ala rizkika afthortu (Ya Allah, untuk-Mu puasaku dan atas rizki-Mu aku berbuka.)” (Riwayat Abu Dawud)
Namun belakangan, menurut beberapa pihak, doa yang lazim dibaca masyarakat ini didukung oleh hadits yang dhaif. Hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi syarat sebagai hadis shahih dan bisa dikatakan hadis lemah.
Meski hadits-hadits tersebut dinilai lemah, namun karena hadits-hadits tersebut tidak berkaitan dengan akidah, sifat-sifat Allah, dan hukum Islam (fikih), makan hadits tersebut tetap boleh diamalkan, menurut sebagian besar ulama.
Advertisement