Liputan6.com, Jakarta - Pada Ramadhan ini, tak dipungkiri masih ada umat Islam yang tidak berpuasa, di luar alasan uzur. Ada yang sembunyi-sembunyi, tapi ada juga yang terang-terangan.
Alasannya bermacam-macam. Ada yang mengaku tidak kuat, ada pula yang terang-terangan tidak peduli dengan bulan Puasa.
Advertisement
Baca Juga
Lantas, bagaimana sikap seorang muslim jika melihat orang yang tidak berpuasa?
Berikut ini adalah naskah yang bisa disampaikan dalam ceramah singkat pada Ramadhan. Harapannya, tips menghadapi orang yang tidak berpuasa ini bisa meluas dan tindakan seorang muslim juga islami.
Materi ini dinukil dari NU Online, dengan judul asli 'Kultum Ramadhan: 3 Tips Saat Melihat Orang Tidak Puasa'. Materi ini disusun oleh Ustadz Muhamad Abror, penulis buku 'Ramadhan Terakhir', alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.
Semoga menjadi amal dan bermanfaat untuk masyarakat. Amin.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kultum Ramadhan: 3 Tips Saat Melihat Orang Tidak Puasa
Sebagian kita kadang terburu-buru menduga yang bukan-bukan ketika menjumpai orang tidak berpuasa, padahal Islam sendiri memaklumi orang-orang yang tidak menjalankan rukun Islam keempat ini dalam beberapa kondisi. Saat tiba bulan Ramadhan, umat Muslim diwajibkan untuk berpuasa.
Ada beberapa syarat wajib yang harus dipenuhi sehingga ia mendapatkan kewajiban ini, yaitu beragama Islam, baligh, berakal, tidak sedang haid atau nifas, mampu melaksanakannya, sehat, dan tidak sedang dalam perjalanan jauh (jarak tempuh minimal 82 km). Jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib berpuasa.
Realita ini harus kita sadari bersama bahwa saat Ramadhan lingkungan sosial di sekitar kita akan selalu diisi oleh dua kelompok yang berbeda, yang satu berpuasa karena ia memenuhi syarat wajib sebagaimana disebut di atas, sementara satu lagi tidak karena tidak memenuhinya seperti karena dia seorang non-muslim, perempuan yang sedang haid, orang tua yang sudah tidak mampu puasa, musafir, anak yang belum baligh, dan sebagainya.
Sebab itu, penting bagi kita untuk lebih dewasa dalam melihat keragaman ini. Berikut adalah beberapa prinsip yang perlu kita terapkan.
1. Perbedaan sebagai Fitrah
Allah swt menciptakan makhluk di dunia ini, termasuk manusia, bermacam ragam. Ada yang berjenis kelamin laki-laki ada pula perempuan, ada yang tua ada pula yang muda dan anak-anak, ada yang sehat dan ada pula yang sakit, dan sebagainya.
Keragaman ini sudah menjadi fitrah dari Allah swt. Konsekuensinya, saat bulan Ramadhan ada saja orang yang tidak memiliki kewajiban berpuasa karena tidak memenuhi syarat wajib. Terkait fitrah perbedaan ini sudah disinggung dalam Al-Qur’an yang berbunyi,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13).
Advertisement
2. Tanamkan Prasangka Baik
Adanya keragaman yang konsekuensinya tidak semua orang berkewajiban menjalankan puasa Ramadhan ini seharusnya membuat kita lebih bijak saat melihat orang tidak berpuasa. Bisa jadi dia adalah orang yang tidak memenuhi syarat wajib puasa. Jadi jangan terburu-buru menuduh yang tidak-tidak. Larangan su’uzhan (berperasangka buruk) sendiri sudah disinggung dalam firman Allah swt,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat: 12)
Lebih jauh, prasangka baik ini juga bisa kita terapkan ketika melihat ada warung di pinggir jalan yang buka di siang bolong. Dalam Islam buka warung di siang hari puasa boleh-boleh saja selama pemiliknya betul-betul memastikan pembelinya hanya dari orang-orang yang tidak memiliki kewajiban berpuasa seperti seorang musafir. Dan catatan, warung dibuka setengah badan sehingga makanan yang dijual tidak terlihat dari luar.
Jangan sampai saat melihat warung kita berperasangka yang bukan-bukan apalagi sampai melakukan tindakan anarkis mengatasnamakan amar ma’ruf nahi mungkar. Bisa jadi si pemilik warung hanya mengandalkan sumber nafkah dari hasil penjualan warungnya yang seandainya tutup maka tidak memiliki usaha lain.
3. Menyadari Pluralitas Iman
Allah swt tidak menjadikan manusia di muka bumi ini dalam satu keyakinan. Artinya, perbedaan agama merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa disangkal. Menurut riset World Population Review, ada lebih dari 4.000 agama di dunia ini, 12 di antaranya memiliki pemeluk terbesar.
Di Indonesia sendiri terdapat enam agama resmi yang diakui, yaitu; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Perbedaan akidah ini beberapa kali ditegaskan dalam Al-Qur’an, salah satunya adalah firman Allah swt berikut,
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ
Artinya, “Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin?” (QS Yunus: 99).
Ayat ini menegaskan bahwa keragaman akidah umat manusia sudah menjadi kehendak Allah ta’ālā, sampai-sampai sekelas Nabi Muhammad saja tidak memiliki wewenang untuk menentukan nasib keimanan seseorang. Bahkan, paman tercintanya, Abu Thalib, yang rela mati demi membela sang keponakan, (dalam salah satu pendapat) tidak pernah mengucapkan kalimat syahadat hingga detik kewafatannya. (Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Asnal Mathālib fī Najāti Abī Thālib, [Amman: Darul Imam an-Nawawi, 2007] halaman 69-90).
Sehingga, sudah sewajarnya kita memaklumi non muslim yang tidak menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Toh, syarat sah puasa juga harus beragama Islam. Jika kemudian kita menjumpai seorang Muslim yang sudah memenuhi syarat wajib tapi tidak menjalankan puasa, maka sudah menjadi keharusan kita untuk menegurnya dengan cara-cara yang santun.
Bukan dengan kekerasan, tindakan anarkis, apalagi sampai menimbulkan kegaduhan serius. Wallahu a’lam. Mari jadikan momen Ramadhan untuk memperkuat iman dan mendewasakan cara pandang. Selamat menunaikan ibadah puasa.
-- --
Tim Rembulan