Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) mengingatkan jemaah calon haji Indonesia 2023 untuk menjaga kesehatan dan mempersiapkan diri agar bisa menjalankan ibadah haji dengan baik. Salah satunya dengan tidak memporsir aktivitas menjelang puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Direktur Bina Haji Kementerian Agama (Kemenag) Arsyad Hidayat mengatakan bahwa ibadah haji di Armuzna memerlukan aktivitas fisik yang besar. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kematian jemaah haji Indonesia masih relatif tinggi dibanding negara lain.
Baca Juga
"Berdasarkan laporan Kemenkes, setiap tahunnya angka kematian jemaah haji meningkat drastis setelah pelaksanaan ibadah di Masyair (Armuzna). Faktor penyebabnya adalah kelelahan. Ini menjadi titik kritis juga dalam pelayanan kepada jemaah haji Indonesia di tahun 2023," ujar Arsyad di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa (11/4/2023).
Advertisement
Apalagi saat ini Indonesia kembali mengirimkan jemaah haji dengan kuota penuh mencapai 221.000 orang. Dari angka tersebut, 66.943 di antaranya merupakan jemaah lanjut usia. Rekor jumlah lansia terbanyak sepanjang sejarah pemberangkatan jemaah haji Indonesia ini harus menjadi perhatian agar kasus kematian akibat kelelahan bisa diantisipasi.
Arsyad meminta para jemaah tidak memporsir fisik dengan melakukan umrah sunah berkali-kali menjelang puncak haji. Para jemaah diimbau beristirahat yang cukup untuk mempersiapkan fisik yang prima sehingga bisa menjalankan ibadah rukun haji di Armuzna dengan baik.
"Kami mohon kita semua tidak hanya petugas Kemenkes, pelayanan lansia, tapi semua kita punya kewajiban untuk mengingatkan kepada kelompok atau siapa saja untuk jemaah haji kita supaya bisa diatur betul kondisinya supaya tetap fit, supaya tetap sah ibadah hajinya, dan bisa kembali ke Tanah Air dengan selamat," ucap Arsyad Hidayat menandaskan.
5 Titik Kritis Jemaah Haji
Sebelumnya, Direktur Bina Haji Kementerian Agama (Kemenag) Arsyad Hidayat mengungkapkan, ada lima titik kritis yang harus menjadi perhatian bersama, terutama bagi para petugas haji saat menangani jemaah haji Indonesia selama di Arab Saudi.
Pertama soal perbedaan kultur, budaya, suhu, dan lain-lain antara Indonesia dengan Arab Saudi. Perbedaan ini kerap membuat jemaah haji Indonesia kaget hingga stres.
"Contoh banyak orang syok lihat kultur bicaranya keras karena mereka hidup di padang pasir. Ada yang anggap kok mereka marah-marah ke kami. Ada nenek-nenek yang sampai stres karena susah dicek mukanya oleh imigrasi, merasa dibentak-bentak, padahal bukan. Jadi ini kaitan dengan kultur pun bisa membuat jemaah kita jadi stres. Ini perlu diantisipasi," ujar Arsyad.
Titik kritis kedua terjadi ketika jemaah haji baru tiba di Arab Saudi. Jemaah gelombang 1 akan tiba di Madinah dan melaksanakan salat arbain (shalat 40 waktu) di Masjid Nabawi. Sementara jemaah gelombang 2 akan mendarat di Bandara Jeddah dan langsung menuju Mekkah untuk melakukan umrah wajib atau umrah haji.
Dalam situasi ini, kebanyakan jemaah akan sangat bersemangat untuk langsung melakukan ibadah. Saking semangatnya, mereka bahkan lupa melakukan orientasi lokasi tempat tinggalnya, sehingga tidak sedikit yang tersasar dan tidak bisa pulang ke hotel atau pemondokan.
"Ini harus jadi perhatian setiap kali ada kedatangan minta jemaah haji lakukan orientasi lokasi mereka tinggal, pertama hotelnya di mana, jalannya jalan apa, ciri fisiknya apa, setiap jemaah dibekali kartu hotel untuk suatu saat ketika tersasar bisa minta tolong siapapun, termasuk kepada petugas haji Indonesia," tutur dia.Arsyad berharap, hal ini bisa menjadi perhatian semua pihak, terutama petugas haji. Apalagi tahun ini merupakan rekor pemberangkatan calon jemaah haji dengan jumlah lansia terbanyak, mencapai 66 ribu orang. "Ini titik kritis juga, dengan jumlah lansia yang banyak, potensi jemaah tersasar akan semakin besar."
Â
Advertisement
Jangan Paksakan Tawaf Sunnah
Titik krisis ketiga, Arsyad mengungkapkan, umumnya jemaah haji yang berada di Mekkah saat menunggu puncak haji akan memanfaatkan waktu untuk melaksanakan tawaf sunah sebanyak-banyaknya. Bahkan, tak sedikit yang memaksakan tawaf sunah berkali-kali hingga kecapaian dan fisiknya lemah saat puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
"Kami tidak melarang melakukan umrah sunah berkali-kali untuk mereka yang sehat. Tapi buat mereka yang memiliki keterbatasan-keterbatasan mohon itu jadi perhatian. Tidak kita paksakan mereka berkali-kali umrah sunah, karena menjelang hari H keberangkatan ke Arafah kondisi fisik mereka akan lemah sehingga tidak bisa melaksanakan wukuf. Padahal wukuf merupakan rukun ibadah haji," katanya.
"Jangan kita kedepankan yang sunah tapi tinggalkan yang rukun. Cara pandang ini salah. Jadi tolong diingatkan siapa saja untuk tidak memporsir jemaah melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat kondisi mereka semakin lemah," sambung Arsyad.
Keempat, titik kritis jemaah calon haji juga terjadi menjelang keberangkatan dan saat berada di masyair atau di Armuzna. Meski diberi waktu dan tempat untuk istirahat tidur, jemaah masih berpotensi kelemahan saat berada di Armuzna. Sebab, situasi di Armuzna saat puncak haji sangat ramai. Seluruh jemaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul dalam satu tempat dan waktu bersamaan.
"Kemudian tenda di Mina yang sempit sehingga membuat mereka mungkin tidak banyak istirahat, sehingga fisik mereka lemah. Padahal saat pelaksanaan masyair justru jemaah banyak sekali melakukan aktivitas fisik. Maka berdasarkan laporan Kemenkes setiap tahunnya angka kematian jemaah haji meningkat drastis setelah pelaksanaan ibadah di masyair. Faktor penyebabnya adalah kelelahan. Ini menjadi titik kritis juga dalam pelayanan kepada jemaah haji Indonesia di tahun 2023," tutur Arsyad.
Terakhir, titik kritis jemaah haji terjadi saat pelaksanaan tawaf ifadah. Kata dia, setiap tahun suasana di sekitar Kakbah dipastikan penuh dan sesak ketika pelaksanaan tawaf ifadah.
"Apalagi kalau ada orang yang sengaja ambil pelaksanaan tawaf ifadahnya pada 10 Dzulhijjah. Sudah kondisi fisiknya capai habis (lempar) jumrah aqabah langsung jalan ke Masjidil Haram, tambah capai dan lelah," katanya.
Karena itu, para konsultan ibadah dan pembimbing ibadah diminta menyelesaikan dulu prosesi ibadah di Mina. Setelah prosesi lempar jumrah rampung, baru jemaah bisa bergeser ke Masjidil Haram untuk tawaf ifadah, sehingga tidak bolak-balik."Silakan setelah kondisi fisiknya sehat baru melaksanakan tawaf ifadah. Jangan paksakan tawaf ifadhah selesai jumrah aqabah. Karena saya sendiri yang masih muda capai betul, apalagi mereka yang sudah tua. Maka pembimbing saya minta bisa arahkan pelaksanaan tawaf ifadah setelah selesai pelaksanaan ibadah di Mina, setelah itu semua kembali ke Makkah," ujar Arsyad.
"Tidak ada batasan kok pelaksanaan tawaf ifadah harus tanggal sekian. Yang penting selama jemaah di Kota Mekkah mereka boleh melaksanakan tawaf ifadah," katanya menandaskan.
Â