Liputan6.com, Jakarta Sejarah hari raya Idul Fitri mungkin belum dipahami oleh sebagian muslim. Padahal, Idul Fitri merupakan hari raya terbesar umat Islam yang dirayakan setiap tahunnya. Kamu tentunya harus mengerti latar belakang hari raya ini.
Baca Juga
Advertisement
Idul Fitri atau Lebaran kerap juga disebut sebagai Hari Kemenangan oleh umat Islam. Sebutan ini merujuk pada berhasilnya muslim melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Konon, perayaan Idul Fitri pertama kali dilaksanakan pada tahun ke-2 Hijriah.
Sejarah hari raya Idul Fitri perlu dikenali umat Islam agar dapat merayakannya dengan lebih bijaksana. Pasalnya, perayaan Lebaran merupakan hari raya yang penuh dengan nilai dan makna yang penting dipahamu setiap muslim.
Berikut Liputan6.com rangkum dari Merdeka dan Kemenag Jateng, Minggu (16/4/2023) tentang sejarah hari raya Idul Fitri.
Perang Badar
Sejarah hari raya Idul Fitri perlu dipahami dari awal diadakannya perayaan umat Islam ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sejarah hari raya Idul Fitri pertama kali digelar pada tahun ke-2 Hijriah, yaitu bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin pada Perang Badar. Selesainya perang bertepatan dengan selesainya puasa Ramadhan selama satu bulan penuh saat itu.
Tidak heran, setelah perang umat Islam merayakan kemenangan dengan penuh syukur dan suka cita. Selain menang dalam Perang Badar, para pejuang muslim juga berhasil berpuasa selama satu bulan. Hal inilah yang mengakibatkan tradisi dan ibadah Idul Fitri ini dilakukan umat Islam sampai saat ini.
Perang Badar sendiri merupakan perang antara kaum muslimin melawan kaum kafir Quraisy. Perang Badar selesai pada 624 Masehi atau tahun kedua hijriah. Waktu tersebut bertepatan dengan perayaan Idul Fitri yang pertama kali. Perang Badar sendiri dimulai pada 17 Ramadhan dan pasukan Rasulullah hanya berjumlah sedikit dibandingkan musuh. Namun berkat perlindungan dan bantuan Allah SWT, Perang Badar bisa dimenangkan oleh Rasulullah dan para pasukannya.
Menurut para ahli sejarah, tentara kaum muslimin dalam Perang Badar berjumlah 313 orang. Terdiri dari 77 orang Muhajirin dan 236 orang Anshar. Yang memegang bendera dalam pasukan Muhajirin adalah Ali bin Abi Thalib, sedang bendera pasukan Ansar dipegang oleh Sa'ad bin 'Ubadah. Sementara itu, jumlah tentara kaum musyrikin sebanyak 950 orang, dipimpin oleh 'Utbah bin Rabi'ah, dan di antara mereka terdapat Abu Sufyan dan Abu Jahal. Dalam pasukan mereka terdapat seratus ekor kuda, 700 ekor unta, dan sejumlah senjata yang tidak terbilang banyaknya.
Meskipun jumlah pasukan kaum muslimin tidak sebanyak kaum musyrikin, naum dengan pertolongan Allah mereka menang dalam peperangan itu. Sebagaimana Firman Allah yang terdapat dalam surat Muhammad, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (Muhammad: 7)”
Atas keyakinan tentang pertolongan Allah inilah kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan. Hal ini karena dalam penglihatan kaum musyrikin ketika perang telah berkecamuk jumlah kamu muslimin menjadi berlipat ganda, sehingga menimbulkan rasa takut dalam hati mereka. Akhirnya mereka lari dari medan pertempuran. Demikian Allah menurunkan pertolongan kepada kaum muslimin.
Advertisement
Hari Raya Masyarakat Jahiliyah
Sejarah hari raya Idul Fitri ini juga berkaitan dengan hari raya masyarakat Jahiliyah. Sebelum agama Islam datang, kaum Arab Jahiliyah merayakan dua hari raya yang sangat meriah. Disebutkan dalam sebuah hadis, Idul Fitri yang kini dirayakan setiap tahun, tak lepas dari sejarah tradisi masyarakat Jahiliyah yang memiliki kebiasaan khusus bermain dalam dua hari.
Kemudian, setelah Rasulullah mendapat perintah untuk menyebarkan Islam dan jalan kebenaran yang berasal dari Allah, tradisi tersebut berubah. Dalam hal ini, Rasulullah mengganti hari raya masyarakat jahiliyah dahulu menjadi perayaan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
“Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud & an-Nasa’i)
Sebelumnya, dua hari tersebut diisi oleh perayaan pesta pora, dengan tradisi mabuk-mabukan dan menari. Konon, ini merupakan pengaruh budaya dari orang Persia kuno. Kemudian setelah turun kewajiban puasa Ramadan, Rasulullah SAW mengganti perayaan tersebut menjadi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha yang diperingati setiap tahun, hingga saat ini.
Hikmah Hari Raya Idul Fitri
1.Adanya penguatan pengakuan atas besarnya nikmat iman dan Islam.
Status iman dan Islam ini merupakan bagian dari puncak kebahagiaan yang dirasakan oleh orang-orang mukmin. Dengan nikmat iman dan Islam ini, seseorang berada pada derajat yang tinggi dan mulia. Oleh karena itu, orang-orang beriman sudah sepatutnya merasakan kegembiraan, tidak merasa hina, dan tidak pula bersedih.
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran [3]:139.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.
2. Tumbuhnya kesadaran secara total bahwa bekal yang terbaik bagi orang-orang yang beriman adalah ketakwaan kepada Allah SWT.
Pada hari raya Idulfitri ini, barometer kegembiraan muslim yang paling penting adalah kesuksesan memperoleh predikat takwa sebagai tujuan dari ibadah yang disyariatkan, khususnya ibadah puasa Ramadan. Hal ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
3. Pentingnya menjaga hubungan baik (silaturahim) di antara sesama manusia.
Suasana hari raya Idul Fitri mampu menumbuhkan dan menguatkan nilai persatuan dan persaudaraan. Oleh sebab itu, saling mengunjungi antara tetangga dan keluarga adalah anjuran yang sangat baik dalam upaya mengokohkan ikatan persaudaraan dan kekeluargaan.
Demikian juga, sikap saling meminta maaf dan memaafkan, tentunya menjadi bagian dari perbuatan yang terpuji yang diperintahkan dalam Islam. firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 133-134, yaitu:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Advertisement