Sukses

Makna Halal Bihalal Usai Perayaan Idul Fitri 2023, Lengkap dengan Sejarahnya

Tradisi halal bihalal merupakan acara pertemuan yang digelar untuk bersilaturahmi dan saling bermaaf-maafan.

Liputan6.com, Jakarta Kata halal bihalal sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Biasanya, halal bihalal dilakukan usai perayaan Hari Raya Idul Fitri. Meski menjadi tradisi yang selalu dilakukan umat Muslim di tanah air, namun masih banyak orang yang tidak mengetahui makna halal bihalal.

Tradisi halal bihalal merupakan acara pertemuan yang digelar untuk bersilaturahmi dan saling bermaaf-maafan. Acara ini sangat melekat dan sudah menjadi tradisi tahunan bagi masyarakat Indonesia.

Halal bihalal ini biasanya dilakukan oleh para pekerja maupun pelajar. Supaya tidak salah mengartikan, sangat penting mengetahui makna halal bihalal. Selain itu, perlu juga memahami sejarah dari tradisi halal bihalal.

Berikut Liputan6.com ulas mengenai makna halal bihalal dan sejarahnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Selasa (18/4/2023).

2 dari 3 halaman

Makna Halal Bihalal

Dikutip dari laman resmi Kemenag, dijelaskan makna halal bihalal adalah tradisi masyarakat Indonesia yang dilakukan sesudah hari lebaran baik di kalangan instansi pemerintah, perusahaan dan dunia pendidikan. Makna halal bihalal sendiri dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, yakni dari bahasa, hukum, dan Al-Qur’an.

a. Sudut pandang dari bahasa

Makna halal bihalal jika dilihat dari sudut pandang bahasa adalah budaya yang hanya ada di Indonesia dan istilahnya memakai bahasa Arab, maka untuk mengartikan makna halal bihalal digunakan pendekatan bahasa Indonesia dan bahasa Arab.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, makna halal bihalal adalah acara maaf-maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan dalam bahasa Arab, halal bihalal berasal dari kata “Halla atau Halala” yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya, antara lain penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Dengan demikian, melalui pendekatan kedua bahasa di atas, maka makna halal bihalal adalah suatu kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan sesudah lebaran melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, dari sombong menjadi rendah hati dan dari berdosa menjadi bebas dari dosa.

b. Sudut pandang dari hukum

Dalam hukum Islam (Fiqih), kata halal lawan dari haram. Halal adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan. Sedangkan haram adalah suatu tuntutan untuk ditinggalkan atau perbuatan yang melahirkan dosa dan mengakibatkan siksaan. Jadi dengan adanya halal bihalal bagi yang melakukannya akan terbebas dari semua dosa.

Dengan demikian, makna halal bihalal ditinjau dari segi hukum adalah menjadikan sikap yang tadinya haram atau berdosa menjadi halal dan tidak berdosa lagi. Hal tersebut dapat tercapai bila syarat-syarat lain terpenuhi, yaitu syarat taubat, di antaranya menyesali perbuatan, tidak mengulangi lagi, meminta maaf dan jika berkaitan dengan barang maka dikembalikan kecuali mendapat ridha dari pemiliknya.

c. Sudut pandang dari Al-Qur’an

Kata halal dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dalam 6 ayat yang terdapat dalam lima surat, dua di antaranya dirangkaikan dengan kata haram yaitu dalam surat An-Nahl ayat 116 dan surat Yunus ayat 59. Dalam surat An-Nahl ayat 116, artinya

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan haram’ untuk mengadakan kebohongan kepada Allah SWT. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.S. An-Nahl: 116).

Selanjutnya dalam surat Yunus ayat 59 juga digandengkan, sebagai berikut:

“Katakanlah, ‘terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal’. Katakanlah ‘Apakah Allah SWT memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?’” (Q.S. Yunus: 59).

Sedangkan keempat sisanya selalu dirangkaikan dengan kata kuluu artinya makanlah dan kata thayyibah artinya yang baik. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 168, surat al-Anfal ayat 69, surat al-Maidah ayat 88 dan surat an-Nahl ayat 116.

Dalam surat al-Baqarah ayat 168, yang artinya:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah: 168).

Dijelaskan juga dalam surat al-Anfal ayat 69, yang artinya:

“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah engkau ambil itu, sebagi makanan yang halal lagi baik, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Anfaal: 69).

Sedangkan untuk Surat Al-Maidah ayat 88, yang artinya:

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah SWT telah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 88).

Terakhir, tertuang juga dalam surat an-Nahl ayat 166, yang artinya:

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah SWT kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.” (Q.S. an-Nahl: 116).

Jadi kata halal dalam beberapa surat yang telah dijelaskan di atas selain dirangkaikan dengan kata haram dan kulu, juga dirangkaikan dengan kata thayyib yang berarti “baik lagi menyenangkan”. Dengan demikian, Al-Qur’an memerintahkan umat muslim untuk melakukan berbagai aktivitas yang memberikan makna kebaikan dan menyenangkan bagi semua pihak.

Inilah yang menjadi dasar mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut umat muslim untuk saling memaafkan melainkan juga berbuat baik terhadap sesama. Pasalnya sikap saling memaafkan dan mengasihi antar manusia tentu dapat memberikan manfaat kebaikan di dunia.

3 dari 3 halaman

Sejarah Tradisi Halal Bihalal

Dikutip dari laman NU Online, sejarah tradisi halal bihalal adalah berasal dari Indonesia. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, halal bihalal adalah tradsi hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara.

Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I yang lahir pada 08 April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.

Sumber lainnya menjelaskan, bahwa sejarah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, di mana Belanda datang lagi. Saat itu, kondisi Indonesia sangat terancam dan membuat sejumlah tokoh menghubungi Soekarno pada bulan Puasa 1946, agar bersedia di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada bulan Agustus menggelar pertemuan dengan mengundang seluruh komponen revolusi. Tujuannya adalah agar lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan menerima keragaman dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa.

Kemudian, Presiden Soekarno menyetujui dan dibuatlah kegiatan halal bihalal yang dihadiri tokoh dan elemen bangsa sebagai perekat hubungan silaturahmi secara nasional. Sejak saat itu, semakin maraklah tradisi halal bihalal dan tetap dilestarikan hingga sekarang oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu media untuk mempererat persaudaraan bagi keluarga, tetangga, rekan kerja dan umat beragama.