Sukses

Puluhan Tahun Mati, Tradisi Telasan di Hari Lebaran Hidup Kembali

Ikhtiar menghidupkan kembali tradisi masa lampau ketika lebaran dihidupkan lagi oleh warga Dusun Karangtengah, Desa Karanganyar, Kecamatan Kalibening, Kabupaten Banjarnegara

Liputan6.com, Jakarta - Ikhtiar menghidupkan kembali tradisi masa lampau ketika lebaran dihidupkan lagi oleh warga Dusun Karangtengah, Desa Karanganyar, Kecamatan Kalibening, Kabupaten Banjarnegara.

Tradisi tersebut bernama Telasan, yang bermakna penghabisan bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri dengan cara berbagi makanan bersama antarwarga dengan wadah khas bernama Tenong.

Tenong merupakan wadah seperti Tampah, hanya saja memiliki tutup. Tradisi Telasan dilaksanakan hari pertama lebaran, Sabtu (22/4/2023) di Balai Rakyat Karanganyar.

Puluhan lelaki paruh baya memanggul tenong di atas kepala dan membawanya ke Balai Rakyat. Setelah berkumpul, pihak pemerintah desa memberikan sambutan, kemudian dilanjutkan dengan doa dan makan bersama.

Para peserta pun saling berbagi makanan berupa nasi dan lauk serta jajanan khas lebaran.

Sesepuh Dusun Karangtengah Hadi Susilo mengungkapkan tradisi ini telah ada sejak masa kemerdekaan. Akan tetapi, tradisi ini sempat puluhan tahun hilang.

"Seingat saya dulu sudah ada sejak Mbah Penatus, dan sampai tahun 80 an masih ada. Namun setelah itu tidak ada lagi. Alhamdulillah sekarang mulai dihidupkan lagi," jelas Hadi.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Ragam Tradisi di Kalibening

Dalam tradisi ini, tambah Hadi, para warga membawa makanan yang ada di rumah masing-masing sesuai selera dan kemampuan.

"Menu yang istimewa dulu ikan emas yang besar, bisa sampai satu kilo lebih. Saya ingat dulu diminta membawa tenong, mewakili mertua saya. Saya hanya berani makan secuil saja, karena takut dengan mertua," ujar Hadi mengenang tradisi Telasan.

Sejarawan lokal Banjarnegara Heni Purwono menilai, tradisi seperti Telasan sangat perlu dilestarikan, karena ada kearifan lokal di dalamnya.

"Kalibening punya tradisi positif Gubyah yang masih populer, karena selain upaya spiritual mengundang hujan melalui aktivitas parak ikan juga tradisi itu berimplikasi positif karena membersihkan sungai juga. Telasan juga demikian, ada nilai berbagi dan kebersamaan yang saat ini mulai luntur. Hal ini perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi saat ini dan masa datang," jelas Heni.

(Penulis: Heni Purwono)