Sukses

Hukum Sajen atau Sesajen dalam Islam, Bagaimana Menyikapinya?

Hukum Sajen atau Sesajen dalam Islam? Bagaimana Menyikapinya

Liputan6.com, Jakarta - Sajen atau sesajen dulu banyak dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Belakangan, praktik pemberian sajen itu sudah banyak ditinggalkan.

Mengutip KBBI, secara etimologi sajen adalah [Sanskerta सज्ज् sajj v 'berpegang teguh, patuh, mengencangkan, memperbaiki, mengikuti, mengikat secara personal'].

Dalam pengertian umum di Jawa, sajen adalah makanan, bunga, dan dupa yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib (kbbi.kemdikbud.go.id).

Sementara, mengutip itb.ac.id, sesajen atau sesaji adalah makanan yang dipersembahkan untuk arwah leluhur. Biasanya sesajen menjadi bahan ritual yang selalu ada di setiap upacara adat dengan tujuan untuk berkomunikasi dengan makhluk gaib.

Mereka percaya bahwa makhluk gaib yang diberi sesajen dapat meningkatkan produksi pertanian atau menghilangkan berbagai malapetaka dan bencana.

Dalam sesajen ada berbagai makanan seperti kelapa hijau, padi, ayam cemani, jenang sengkolo, daun sirih, sayuran, buah-buahan segar, hingga jajanan pasar. Bersamaan dengan itu, ada juga barang-barang antik seperti keris, menyan, gendang, gong dan semacamnya. Tak sekadar disajikan, tiap-tiap unsur makanan dan barang-barang antik tersebut juga dipercaya memiliki maknanya tersendiri.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Sajen

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Sopa menegaskan bahwa mempersembahkan sesaji, atau sajen, atau sesajen jika ditujukan untuk yang lain selain Allah SWT adalah perbuatan syirik. Artinya, mempersembahkan sesajen baik di pohon besar, sawah, pegunungan, atau di mana pun untuk arwah leluhur dengan keyakinan bahwa bisa mendatangkan keberuntungan dan kelancaran, serta menangkal hal-hal buruk tergolong dosa besar.

Sofa juga turut mengingat jika menemukan sesajen di mana pun, lebih baik dibiarkan. Karenanya haram hukumnya bila memakan sesajen yang ditemukan di sembarang tempat sebab pada dasarnya sesajen adalah makanan yang dipersembahkan kepada selain Allah. Baik sesajen berupa daging sembelihan maupun makanan selain daging seperti buah-buahan, hukumnya haram dikonsumsi umat Islam. Dalilnya ialah QS. al-Baqarah ayat 173 dan prinsip Sadd adz-Dzari’ah.

“Jika makanan (sesajen) adalah daging yang disembelih untuk sesaji kepada arwah, maka haram dimakan. Adapun makanan selain daging pada dasarnya tidak haram untuk dimakan. Namun demikian, sebagai upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif, maka dianjurkan untuk tidak memakan makan tersebut, dengan alasan mencegah terjerumus pada kesyirikan,” ujar Sofa dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (12/01) dikutip dari laman itb.ac.id, Jumat (5/5/2023).

Sopa menegaskan bahwa membiarkan makanan sesajen tidak termasuk mubazir. Tidak tepat bila mubazir menjadi alasan untuk mengkonsumsi makanan sesajen. Sebab prinsip mubazir dalam Islam adalah tidak menggunakan pemberian Allah sesuai dengan kehendak Allah. Kalau makanan diperlakukan tidak sesuai dengan kehendak Allah, baru bisa dikatakan sebagai mubazir. Logikanya, membiarkan makanan haram, misalnya, daging babi tidak termasuk mubazir.

“Jadi, makanan apa saja yang disajikan untuk dipersembahkan kepada selain Allah, ya tidak perlu dimakan, karena membiarkannya tidak termasuk mubazir. Tidak boleh mengkambinghitamkan mubazir untuk memakan sesajen yang kita temukan di sembarang tempat,” tutur dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.

3 dari 3 halaman

Menyikapi Sesajen

Lantas bagaimana jika melihat sesajen? Meski secara hukum Islam syirik, dakwah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik.

Dilansir dari laman muhammadiyah.or.id, Islam menghendaki metode dakwah yang bijaksana, sebagaimana firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125).

“Bahwa mempersembahkan sesaji itu merupakan perbuatan yang tidak benar, its okay, kita semua sepakat. Namun bila reaksinya sampai seperti itu (membuang sesajen), itu tidak tepat karena ia melakukannya dengan cara yang kasar. Kalau terkesan kasar, dikhawatirkan tidak akan mendapatkan simpati,” ujar dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.

Ke depan, Sofa menyarankan tentang perlunya literasi akidah dalam berdakwah. Masyarakat perlu diedukasi dalam merespon bencana dengan pendekatan keagamaan (spiritual) yang benar agar tidak terjerumus dalam perbuatan syirik. Juga perlu diedukasi dalam memilih tradisi atau adat warisan leluhur, mana yang sesuai dengan ajaran Islam (al-’urf ash-shahihah) dan mana yang tidak sesuai (al-’urf al-fasidah) karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Tim Rembulan