Liputan6.com, Jakarta - Nama pendakwah muda Ustadz Hanan Attaki tengah menjadi perbincangan hangat publik. Bukan karena ceramahnya, namun pendiri Gerakan Pemuda Hijrah itu jadi sorotan karena resmi menjadi kader Nahdlatul Ulama (NU).
Ustadz Hanan Attaki resmi menjadi nahdliyin setelah melewati proses baiat NU di hadapan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar.
Pembaiatan ini dilakukan di Malang saat acara Halal Bihalal 1444 H Keluarga Besar Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek sekaligus Haul KH Ahmad Noer, KH Mustamar, dan KH Murtadho Amin, Kamis (11/5/2023).
Advertisement
Baca Juga
Sebelum resmi menjadi kader NU, Hanan Attaki beberapa kali ditolak untuk mengisi ceramah di sejumlah daerah. Bahkan, ia dituduh wahabi hingga eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tuduhan-tuduhan itu dibantah oleh Hanan Attaki. Ia menegaskan bahwa dirinya dibesarkan di lingkungan seperti NU dan memiliki seorang istri keturunan pendiri NU Tuban.
“Saya menikah dengan perempuan belajar di Al Azhar juga dari Tuban, Jawa Timur keluarga kiai. Keluarga besar di Tuban itu keluarga kiai semua, kiai NU tulen,” katanya dikutip dari tayangan YouTube Hanan Attaki, Jumat (12/5/2023).
“Bahkan, kakek buyut istri saya itu pendiri organisasi cabang NU Tuban pada masanya. Beliau adalah Kiai Chusen yang punya pondok pesantren tahfidz Al-Qur’an pertama juga di Tuban, Pondok Pesantren Manbail Fakhriyah Alchusainiyah di Jenu, Tuban,” lanjutnya.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Sosok Kiai Chusen
View this post on Instagram
Profil Kiai Chusen yang merupakan leluhur Haneen Akira, istri Hanan Attaki sempat dibagikan di Instagram @haneenakira beberapa waktu lalu. Dalam unggahan tersebut, istri Hanan Attaki menceritakan tentang sosok kakek buyutnya.
Kiai Chusen atau dikenal Mbah Chusen merupakan seorang tokoh agama asal Tuban tepatnya di Desa Jenu. Ia seorang Ahlul Qur’an yang begitu ‘alim khususnya dalam bidang ilmu Qira’at.
Kiai Chusen adalah putra dari Kiai Hasan, ulama asli Singgahan Tuban yang pernah menempuh studi di Tanah Suci Makkah selama delapan tahun setelah sebelumnya menimba ilmu di berbagai masyāyiẖ di Tanah Air.
“Dari sebuah sumber dikatakan bahwa Mbah Kiai Chusen masih terhitung keturunan Mbah Abdul Jabbar, yang dimakamkan di Nglirip, Mulyoagung, Singgahan. Apabila benar demikian, maka beliau masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pendiri cikal bakal Pesantren Tambakberas, Mbah Abdus Salam (Mbah Sechah), yang juga sebagai leluhur dari Pesantren Tebuireng dan Denanyar,” tulisnya.
Seperti penjelasan putri Kiai Chusen, pada usia remaja beliau telah diajak oleh Syekh Shodaqoh seorang ulama dan saudagar dari Kota Kudus menuju Haramain.
“Melihat dari nama pesantren yang kelak didirikannya bernama Tarbiyah al-Huffadz Manba’u Al-Fakhriyyah Al-Hasyimiyyah As-Shaulatiyah, maka boleh jadi Mbah Chusen sempat belajar di madrasah yang didirikan pada 1292 H oleh Syekh Rahmatullah ibn al-Khalil al-Hindi ad-Dahlawi, ulama besar kelahiran India yang terhitung nasabnya bersambung kepada sahabat Usman bin Affan RA,” terangnya.
Madrasah Shaulatiyah merupakan madrasah berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah yang berdiri di dekat Masjidil Haram, Makkah. Secara historis, madrasah ini menjadi kawah candradimuka ulama nusantara lain seperti Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari (endiri Nahdlatul Ulama), Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid (Pendiri Nahdlatul Wathan), Syekh Mustofa Husein Nasution (Pendiri Pondok Pesantren Al-Musthafawiyah, Mandailing Natal, Sumatera Utara), al-Musnid ad-Dunya Syekh Yasin al-Fadani, dan ulama-ulama lainnya.
Sebagaimana ulama-ulama sebelumnya, Mbah Chusen kembali ke kampung halamannya. Tak berlangsung lama, ia dinikahkan dengan Fatimah binti Romli yang berasal dari Tambakboyo, Tuban (sumber lain mengatakan dari Jenu, Tuban).
Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam orang anak di antaranya Zawawi, Ruqoyyah, Nafisah, Azizah, Husniyah, dan Hasan Bisri. Dari jalur Ruqoyyah terlahir Haneen Akira yang kemudian menikah dengan Hanan Attaki.
Advertisement
Mendirikan NU Tuban
Tidak hanya mengasuh pesantren, Kiai Chusen juga aktif dalam organisasi NU. Ia tercatat sebagai salah satu pendiri NU Tuban pada tahun 1935 M. Ia juga menjabat sebagai Rais Syuriah dengan Rais Tanfidziyah-nya adalah Kiai Umar Faruq.
“Ada kisah menarik saat beliau menjadi pengurus NU. Ia hampir tidak pernah absen untuk hadir dalam perhelatan Muktamar NU. Ia bersama Kiai Dimyati, Kaliuntu, sampai rela berboncengan dengan sepeda kayuh ke arena Muktamar,” tulis istri Hanan Attaki ini di bagian komentar unggahan yang sama.
Kisah kealiman Mbah Chusen juga diakui ulama Ahlul Qur’an lain, KH. Arwani Amin, Kudus.
Dikutip dari buku “Terompah Kyai, Kisah Hikmah dan Inspirasi dari Pojok Pesantren”, suatu ketika ada salah satu santrinya berniat ‘tabarukan’ kepada Kiai Arwani. Sesampai di Kudus, santri tersebut diberitahu, “Sampeyan (Anda) dari Jenu kok menghafal Al-Qur’an di sini, di Jenu kan ada Kiai Chusen?”
Meski begitu, santri tersebut tetap diterima. Kiai Arwani juga tercatat pernah tabarrukan ke Kiai Chusen, walaupun hanya sebentar.
Tercatat juga bahwa Yusuf Masyhar, santri Kiai Chusen yang cemerlang dijodohkan dengan Nyai Ruqayyah, cucu Kiai Hasyim Asy’ari. Nyai Ruqayyah adalah putri dari KH Ahmad Baidhowi Asro dan Nyai Hj. Aisyah.
“Melacak jalur dan lajur dakwah Islam nusantara sangat bermanfaat untuk lebih menghargai perjuangan pendahulu kita, kembali pada kemurnian perjuangan bangsa, mempererat ukhuwah islamiyah dalam kesatuan indonesia. Stop adu domba bangsa!” pungkasnya.