Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ramai diperbincangkan oleh warganet, hingga nangkring di topik tren Twitter.
Salah satunya adalah kasus kekerasan yang dialami oleh pasutri di Depok. Buntut dari kasus ini berakibat pada penetapan tersangka bagi keduanya.
Tindakan kekerasan, seperti memukul, menendang, menampar yang dilakukan oleh pasangan suami istri dalam pandangan Islam tentu tidak bisa dibenarkan.
Advertisement
Namun begitu, para suami kerap mendasari tindakan itu pada Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 34 yang artinya:
"Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka."
Baca Juga
Lantas, bagaimana memahami ayat tersebut. Benarkah ayat tersebut bisa dijadikan dalil untuk melakukan kekerasan?
Saksikan Video Pilihan ini:
4 Ketentuan Memahami Ayat di Atas
Ayat di atas menegaskan tahapan tindakan yang dilakukan suami jika istri tidak memenuhi haknya. Tindakan ini dilakukan guna mengarahkan atau mendidik istri agar kembali mematuhi atau memenuhi haknya.
Dilansir dari laman NU Online, adapun caranya dengan tiga tindakan secara berurutan, yaitu (1) menasihatinya secara baik; (2) bila tidak berhasil maka didiamkan dan tidak diajak tidur bersama; dan (3) langkah terakhir dengan memukulnya.
Hal yang kerap disalahpahami dan dijadikan pembenaran dari ayat di atas dalam hal ini adalah pada diksi 'wadhribuhunna' yang berarti 'dan pukullah mereka'. Perlu diketahui, ada rincian ketentuan yang harus dipahami secara baik dalam hal ini, sehingga kesalahpahaman terhadap ayat tersebut tidak berulang.
Pertama, tujuan utama memukul adalah mendidik istri agar kembali mentaati atau memenuhi hak suami. Selagi tindakan yang ringan bisa ditempuh agar tujuan itu tercapai, tentu tidak boleh mengambil tindakan yang lebih berat. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Fakhurddin Ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatihul Ghaib, bagaimanapun mengambil tindakan yang paling ringan sangat perintahkan dalam hal ini.
Kedua, jika terpaksa perlu mengambil tindakan memukul, maka hanya dengan boleh pukulan yang sangat ringan dalam rangka mendidik, seperti memukul dengan siwak atau sikat gigi dan semisalnya. Memukul yang dimaksud bukan dengan pukulan yang mematikan, mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau sangat menyakitkan.
Pemukulan juga tidak boleh dilakukan pada wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Muhammad bin Jarir at-Thabari dalam kitab Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân.
Advertisement
Tidak Ada Pembenaran terhadap Tindakan KDRT
Pemahaman demikian ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tepatnya pasal 6 yang menyatakan: "Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat."
Ketiga, pemukulan tidak boleh dilakukan karena didahului permusuhan atau pertikaian antara suami istri. Jika sebelumnya sudah terjadi pertikaian, suami tidak boleh memukul istri meskipun dalam rangka mendidiknya. Jika istri masih membangkang atau tidak memenuhi hak suami, jalan satu-satunya adalah melaporkan kepada hakim, bukan main hakim sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam kitab Hâsyiyah I’ânatut Thâlibîn.
Keempat, jika istri hanya akan jera dengan pukulan yang membahayakan, maka suami sama sekali tidak boleh memukul istri, baik pukulan yang ringan apalagi yang membahayakan dengan alasan apa pun. Hal ini sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj.
Oleh karena itu, tidak ada alasan apapun yang dapat dijadikan pembenaran tindakan KDRT. Apalagi sampai membawa-bawa Al-Qur’an dan ajaran Islam sebagai alasan pembenarannya.