Sukses

Bisa Ditiru, Respons Umar bin Khattab Saat Istri Marah-Marah

Dua manusia yang disatukan dalam mahligai pernikahan, antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanananya pasti ada bumbu pertengkaran, silang pendapat. Perempuan yang kemudian disebut istri, dan laki-laki kemudian disebut suami, uumnya jika bertengkar saling bersikukuh dengan pendapatnya. Repotnya jika sama-sama keras sifatnya.

Liputan6.com, Jakarta - Dua manusia yang disatukan dalam mahligai pernikahan, antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanananya pasti ada bumbu pertengkaran, silang pendapat.

Perempuan yang kemudian disebut istri, dan laki-laki kemudian disebut suami, umumnya jika bertengkar saling bersikukuh dengan pendapatnya. Repotnya jika sama-sama keras sifatnya.

Setidaknya jika ada salah satu yang marah atau keras dalam pendapatnya, satunya lagi harusnya mengalah.

Kisah pertengkaran dalam keluarga bukan hanya ada di zaman seperti saat ini, namun pada zaman kenabian sudah ada.

Misalnya, di keluarga Umar bin Khattab. Dalam khazanah Islam, Umar diriwayatkan sebagai pria yang pemberani, adil, tegas, bersahaja, dan berbagai sifat utama lain.

Oleh Rasulullah SAW, Umar juga dijuluki Al-Faruq, yang artinya pembeda. Julukan Al-Faruq diberikan kepada Umar oleh Nabi SAW karena ketegasan dan keberaniannya.

Dalam buku berjudul Umar bin Khattab RA oleh Abdul Syukur al-Azizi, diungkap bahwa gelar al faruq artinya sebagai sang pembeda hak dan bathil yang diberikan langsung oleh Rasulullah SAW.

Namun begitu, ternyata Umar Al-Faruq yang tegas dan berani di luar begitu lembut ketika di rumah. Umar bin Khattab tetap bersabar, saat bertengkar dengan istrinya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Saat Istri Sayyidina Umar RA Marah

Ada kisah menarik yang patut dicontoh dari sikap Sayyidina Umar RA saat mendapati istrinya marah, seperti dikutip dari nu.or.id berikut ini.

Alkisah ada salah seorang laki-laki yang hendak mengadukan kelakuan istrinya kepada Sayyidina Umar bin Khattab. Saat sampai di rumah Amirul Mu’minin ini, orang laki-laki ini hanya menunggu di depan pintu.

Secara kebetulan, tamu ini mendengar istri Umar memarahinya, sementara Umar tetap cenderung pasif, tidak menaggapi. Laki-laki itu lalu mengurungkan niatnya dan mulai beranjak pulang.

”Jika keadaan Amirul Mu’minin saja seperti ini, bagaimana dengan diriku?” gumamnya dalam hati. Sejenak kemudian Umar keluar dan menyaksikan tamunya akan segera pergi. Umar pun segera memanggilnya, ”Apa keperluanmu?”

”Wahai Amirul Mu’minin, sebenarnya aku datang untuk mengadukan perilaku istriku dan sikapnya kepadaku, tapi aku mendengar hal yang sama pada istri tuan.”

”Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya,” jawab Umar.

”Di samping itu,” sambung Umar, ”Hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram—sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”

”Wahai Amirul Mu’minin, istriku juga demikian,” ujar orang laki-laki itu.

”Oleh karena itu, sabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar!”

Disadur dari kitab ‘Uqudul Lujjain: Fi Bayani Huquqiz Zawjain karya Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani

Semoga kisah dari Sayyidina Umar RA dan istrinya ini bisa menjadi tauladan bagi kita semua.

Penulis: Nugroho Purbo