Liputan6.com, Jakarta - Sosok Sunan Kalijaga sangat lekat dengan masyarakat Jawa karena Sunan Kalijaga atau Raden Said merupakan anggota Walisongo penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Sosok ini sangat toleran terhadap budaya lokal dan bahkan mengadopsinya sebagai jalan dakwah. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.
Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, maka dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Advertisement
Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah "Ilir-ilir" dan "Gundul-gundul Pacul". Dialah yang menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu.
Baca Juga
Sebagai umat Islam, tentunya Sunan Kalijaga berkeinginan kuat untuk menjalankan rukun Islam kelima, yaitu haji.
Namun dalam prosesnya, ada yang melarang Sunan Kalijaga berhaji. Siapakah yang berani melarang ulama yang khas dengan pakaian serba hitam ini?
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Larangan Maulana Maghribi terhadap Sunan Kalijaga
Dikisahkan di nu.or.id, suatu ketika Sunan Kalijaga berada di Malaka. Ia memiliki kehendak untuk menjalankan ibadah haji. Namun siapa sangka, seorang ulama senior pada saat itu, Maulana Maghribi, meminta Sunan Kalijaga untuk kembali Jawa.
Larangan Maulana Maghribi terhadap Sunan Kalijaga tersebut bukan tanpa dasar. Maulana Maghribi beralasan, jika Sunan Kalijaga tetap pergi haji. maka masyarakat Jawa akan keluar Islam atau kembali kafir karena pada saat itu Kerajaan Demak masih dalam transisi.
Lebih dari itu, Maulana Maghribi juga berkata kepada Sunan Kalijaga kalau Makkah (rumah Allah) yang asli itu ada di dalam diri sendiri. Sementara, Baitullah (Ka’bah) yang ada di Makkah itu hanyalah ‘batu peninggalan Nabi Ibrahim.’
Dengan demikian, ibadah haji bukan hanya sekedar perjalanan fisik ke Makkah. Akan tetapi, ibadah haji adalah ibadah metafisik-spiritual.
Seseorang akan sampai di ‘Makkah sejati’ manakala mereka sanggup menjalani kematian dalam kehidupan (mati sajroning urip) dan bisa membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu.
Demikian kisah dalam Suluk Wijil yang diceritakan dalam buku Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.
Advertisement
Menjalani Kematian dalam Kehidupan
Versi lain dikisahkan bahwa yang melarang Sunan Kalijaga berhaji adalah Nabi Khidir AS.
Ketika Sunan Kalijaga berada di tengah laut dalam sebuah perjalanan menuju ke Makkah, tiba-tiba Nabi Khidir AS menghentikannya. Segera saja Nabi Khidir AS memberikan nasihat kepada Sunan Kalijaga agar tidak usah melanjutkan perjalanannya ke Makkah jika tidak mengetahui apa yang akan dilaksanakannya selama tinggal di sana. Cerita ini terekam dalam Suluk Linglung.
Kisah Sunan Kalijaga di atas memberikan banyak pengajaran bagi kita. Salah satunya adalah lebih memprioritaskan problematika umat. Sunan Kalijaga dilarang berhaji karena pada saat itu iman masyarakat Jawa–yang menjadi medan dakwah Sunan Kalijaga-masih rapuh.
Sementara kalau kita tarik hari ini, persoalan umat tidak pada ranah iman lagi lagi, tapi kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan lainnya. Adalah sesuatu yang tidak benar jika ada seseorang yang sering menunaikan ibadah haji–dan umrah--di Makkah sementara umatnya, tetangganya, dan saudaranya masih dalam keadaan yang memprihatinkan.
Bukankah ada banyak cerita yang mengisahkan bahwa seseorang mendapat status haji mabrur meski tidak menjalankan ibadah haji di Makkah. Ada hadis nabi yang juga menceritakan hal itu. Dikisahkan bahwa usai menunaikan haji para sahabat mendatangai Nabi Muhammad SAW. Mereka bertanya perihal siapa yang hajinya mabrur. Nabi Muhammad SAW menjawab bahwa yang hajinya mabrur adalah si fulan.
Mendengar nama sahabat yang disebut Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat jadi terheran-heran. Mengapa? Karena si fulan yang disebut nabi tersebut tidak jadi menunaikan ibadah haji. Malah, si fulan menggunakan uang yang disiapkan untuk bekal haji itu untuk menolong tetangganya yang sedang sakit. Wallahu A'lam
Penulis: Nugroho Purbo