Liputan6.com, Jakarta - Masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun menjadi kemajuan intelektual dalam dunia Islam. Khalifah keenam dari Dinasti Abbasiyah ini mencurahkan masa kepemimpinannya untuk memaksimalkan sejumlah proyek sains. Berbagai riset digalakkan, para peneliti dari berbagai bidang dipekerjakan, hingga kas negara diprioritaskan untuk menggaji para ilmuwan.
Ia memiliki nama lengkap Al-Ma’mun Abdullah Abul Abbas bin Ar-Rasyid. Khalifah yang memiliki ambisi tinggi terhadap ilmu pengetahuan ini lahir pada malam Jum’at bulan Rabi’ul Awwal, tahun 170 H, bertepatan 1 September 813 M.
Advertisement
Baca Juga
Jalaluddin as-Suyuthi menggambarkan sosok putra Harun ar-Rasyid ini sebagai pribadi yang istimewa karena memiliki sejumlah karakter luhur seperti memiliki ambisi yang kuat, kesabaran yang tangguh, pengetahuan yang luas, ide yang cemerlang, cerdik, berwibawa, berani, dan toleran.
Soal kecerdasannya, lanjut as-Suyuthi, belum ada orang Abbasiyah yang pernah mengunggulinya. Adalah Al-Yazidi, seseorang yang berjasa besar dalam menggembleng Al-Ma’mun hingga menjadi pribadi yang haus ilmu pengetahuan.
Al-Yazidi sering mengundang para fuqaha dari seluruh penjuru negeri. Selain itu, ia sendiri juga menguasai sejumlah cabang ilmu pengetahuan seperti fiqih, bahasa Arab, dan sejarah.
Saksikan Video Pilihan ini:
Tunjangan Besar bagi Para Ilmuwan dan Guru di Era Bani Abbasiyah
Keberhasilan Al-Yazidi dalam mendidik calon khalifah itu terlihat ketika di usia menginjak remaja Al-Ma’mun tidak saja memiliki minat belajar besar dalam ilmu agama, tetapi juga filsafat Yunani hingga ia menjadi pakar cabang ilmu yang kemudian banyak mendapat kritik banyak ulama ini, terutama dari kalangan Sunni.
Ibnu Katsir melaporkan, Al-Ma’mun menguasai lintas disiplin ilmu pengetahuan, mulai dari fiqih, kedokteran, syair, ilmu waris, teologi, gramatika bahasa Arab, hadits, hingga astronomi
Al-Ma’mun resmi menduduki kursi kekhalifahan pada 198 H dalam usianya yang ke-28 tahun. Ia menjabat selama 20 tahun lebih 5 bulan. Mendapat posisi politik penting seperti ini dimanfaatkannya untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung minat kuat intelektualnya. Pada masa pemerintahannya inilah diresmikan Baitul Hikmah, sebuah pusat penerjemahan buku-buku penting dan tempat riset para ilmuwan dari latar belakang bidang yang beragam.
Tidak tanggung-tanggung, kepada para peneliti yang dipekerjakan, Al-Ma’mun menggajinya dengan besaran yang sangat tinggi. Diketahui, anggaran riset Baitul Hikmah saat itu jika diilustrasikan setara dengan dua kali lipat dana Medical Research Centre di Inggris saat ini. Sementara gaji para ilmuwan yang dipekerjakannya setara dengan gaji atlet profesional saat ini seperti Lionel Messi dan Ronaldo.
Pada masa pemerintahan Al-Ma’mun inilah Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya, terutama dalam bidang sains. Jika pada masa khalifah sebelum-sebelumnya ilmu pengetahuan terbatas pada diskursus keagamaan, pada masa Al-Ma’mun ilmu pengetahuan tidak saja sebagai penguat doktrin agama tetapi juga sebagai kajian serius lintas disiplin. Sebuah terobosan yang sangat layak diacungi jempol.
Advertisement
Peristiwa Mihnah
Selain memanfaatkan kekuasaannya untuk kemajuan ilmu pengetahuan, Al-Ma’mun yang terpengaruh paham Syi’ah ini juga mencoba menegakkan otoritas keagamaan. Sebagai penganut Syi’ah, ia meyakini Al-Qur’an sebagai makhluk, berbeda Sunni yang menganggapnya sebagai kalamullah yang qadim.
Guna memastikan semua rakyat seideologi dengannya, Al-Ma’mun mengumpulkan para ulama untuk dites, apakah mereka sependapat dengannya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk atau sebaliknya. Jika sependapat, maka ia akan dibebaskan. Jika tidak, maka ia harus bersiap menerima konsekuensi fatal dari sang negara.
Pada 218 H, Al-Ma’mun mengirim surat kepada Ishaq bin Ibrahim al-Khuza’i yang berisi perintah untuk mengetes para ulama. Isi surat itu cukup panjang. Di bagian akhir surat, sebagaimana dilaporkan as-Suyuthi, Al-Ma’mun menulis begini:
“Orang yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah tetapi meyakini Al-Qur’an sebagai kalamullah yang qadim adalah umat paling buruk dan telah melenceng dari ajaran tauhid. Mereka tak ubahnya gentong-gentong kebodohan dan pemuka para pembohong. Mulut mereka adalah lisan iblis yang berbicara lewat wali-wali-Nya. Ujilah mereka dengan tentang Al-Qur’an, sehingga terungkap apakah mereka meyakini kitabullah ini sebagai makhluk-Nya.”
Dikumpulkanlah para ulama pada zaman itu. As-Suyuthi menyebutkan cukup detail nama-namanya seperti Muhammad bin Sa’ad, Al-Waqidi, Yahya bin Ma’in, Abu Khaitsamah, Abu Muslim pengajar Yazid bin Harun, Ismail bin Daud, Ismail bin Abu Mas’ud, dan Ahmad bin Ibrahim ad-Daruqi. Untuk mencari aman, ketujuh ulama ini berpura-pura sependapat dengan Al-Ma’mun atau disebut dengan taqiyyah.
Sementara dari kalangan ahli fiqih dan hadits, sejumlah ulama dihadirkan seperti Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al-Walid bin al-Kindi, Abu Hasan Aziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Al-Fadhl bin Ghanim, Ubaidillah bin Amr al-Qawariri, Ali bin al-Ja’di, Sajadah, Qutaibah bin Said, dan yang lainnya. Semua yang hadir menyatakan sependapat dengan sang khalifah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh. Keduanya kemudian diasingkan ke Romawi.
Al-Ma’mun meninggal dunia setelah peristiwa Al-Mihnah itu, tepatnya pada Kamis, 18 Rajab 218 H, di sebuah wilayah bernama Badidun, Romawi.
Terlepas dari kontroversi Al-Ma’mun soal peristiwa Al-Mihnah, kita sangat mengapresiasi dedikasinya kepada ilmu pengetahuan. Dengan ambisi intelektualnya, sang khalifah melakukan beragam terobosan dan upaya baik dengan mendirikan pusat penelitian, mempekerjakan ilmuwan dari lintas bidang, hingga membiayai riset dan menggaji peneliti dengan dana yang cukup tinggi. Wallahu a’lam.