Liputan6.com, Jakarta - Ada sebagian masyarakat yang memiliki kebiasaan atau tradisi ganti nama setelah selesai menjalankan ibadah haji.
Nama-nama yang dipilih biasanya nama dengan nuansa Arab. Ada yang sebagian saja, atau ada yang seluruhnya.
Para haji atau hajjah ini memilih nama Islami. Biasanya, ini dilakukan setelah berkonsultasi dengan guru, kiai, atau orang yang dinilai lebih paham dan memiliki kapasitas keilmuan.
Advertisement
Pada masa lalu, di tanah suci, memang ada pula tradisi atau fasilitas untuk yang ini mengubah nama usai berhaji. Nama ini diberikan bersamaan dengan sertifikat haji, pada masa itu.
Baca Juga
Misalanya, nama lahir Suparmin, diganti namanya menjadi Ahmad Suparmin. Bisa juga nama Abdul Rosid menggantikan nama Sutarmo.
Lalu bagaimana pandangan Islam, mengenai ganti nama setelah haji?
Simak Video Pilihan Ini:
Ganti Nama dalam Islam
Mengutip nu.or.id, sebenarnya perubahan nama ini tidak harus dilakukan setelah menjalankan ibadah haji, bisa kapan saja waktunya. Akan tetapi sebagian masyarakat lebih senang menjadikan ibadah haji sebagai momentum perubahan nama. Dengan harapan meningkatkan semangat peribadatan.
Dalam pandangan fqih perubahan nama itu adakalanya wajib, sunah, dan atau mubah. Perubahan nama bisa menjadi wajib apabila nama yang selama ini digunakan terlarang (haram), seperti Abdusysyaithan (hamba setan), Abdul Ka’bah (hamba Ka'bah), atau sejenisnya.
Hukumnya juga bisa sunah apabila nama yang sudah ada itu makruh (dibenci), seperti nama Himar, Monyong, atau Pencor. Dan adakalanya hukumnya mubah apabila namanya itu tidak haram, juga tidak makruh semisal Sani, Midi, dan lain sebagainya.
Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Tanwir al-Qulub sebagai berikut:
وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمُحَرَّمَةِ وَيُسْتَحَبُّ تَغْيِيْرُ اْلأَسْمَاءِ الْمَكْرُوْهَةِ.
Artinya: Mengubah nama-nama yang haram itu hukumnya wajib, dan nama-nama yang makruh hukumnya sunah.
Demikian juga disebutkan dalam Hasyiyah al-Bajuri berikut ini:
وَيُسَنُّ أَنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ لِخَبَرِ أَنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ أَبَائِكُمْ فَحَسِّنُوْا أَسْمَائَكُمْ إِلَى أَنْ قَالَ: وَتُكْرَهُ اْلأَسْمَاءُ الْقَبِيْحَةُ كَحِمَارٍ وَكُلِّ مَا يُتَطَيَّرُ نَفْيُهُ أَوْ إِثْبَاتُهُ وَتَحْرُمُ التَّسْمِيَّةُ بِعَبْدِ الْكَعْبَةِ أَوْ عَبْدِ الْحَسَنِ أَوْ عَبْدِ عَلِيٍّ وَيَجِبُ تَغْيِيْرُ اْلاسْمِ الْحَرَامِ عَلَى اْلأَقْرَبِ لِأَنَّهُ مِنْ إِزَالَةِ الْمُنْكَرِ وَإِنْ تَرَدَّدَ الرَّحْمَانِيُّ فِيْ وُجُوْبِهِ وَنَدْبِهِ
Artinya: Dan disunahkan memperbagus nama sesuai dengan hadits: Kamu sekalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka perbaguskanlah nama-nama kalian. Dimakruhkan nama-nama yang berarti jelek, seperti himar (keledai) dan setiap nama yang diprasangka buruk (tathayyur) penafian atau penetapannya. Haram menamai dengan Abdul Ka’bah, Abdul Hasan atau Abdu Ali (Hamba Ka’bah, Hamba Hasan atau Hamba Ali). Menurut pendapat yang lebib benar, wajib mengubah nama yang haram, karena berarti menghilangkan kemungkaran, walaupun al-Rahmani ragu-ragu apakah mengubah nama demikian, wajib atau sunah.
Pandangan ini diambil dari Ahkamul Fuqaha, Keputusan Muktamar Ke-8 di Jakarta 12 Muharram 1352 H.
Demikian mengenai pandangan Islam terkait mengganti nama usai ibadah Haji.
Penulis: Nugroho Purbo
Advertisement