Liputan6.com, Jakarta - Jemaah haji asal Indonesia, sepulang menjalankan ibadah haji biasanya tersemat di depannya satu kata yaitu haji, atau satu huruf kapital H dalam penulisan namanya.
Uniknya jika dipanggil tanpa label haji, ada yang tersinggung. Katanya harus komplit manggilnya dengan gelar hajinya tersebut.
Mengenai penyematan gelar haji ini ada beberapa versi, dan fenomena ini terjadi turun temurun sudah sejak lama, dan menjadi kelaziman di masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Apakah gelar haji ini ada di zaman Rasulullah SAW?
Simak Video Pilihan Ini:
Bentuk Identifikasi Belanda
Dilansir nu.or.id, sejauh kisah tentang ibadah haji pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, tak sekali pun mengisyaratkan penahbisan gelar “haji” kepada yang bersangkutan.
Darimana budaya pemberian gelar tersebut berasal? “Gelar Haji yang hanya berlaku di kalangan bangsa kita ini sejatinya merupakan bentuk identifikasi orang Belanda saja,” terang Joko Prihatmoko, peneliti muda NU, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Indonesia (LPPI) ini, ibadah haji menyebabkan para pelaksananya mempunyai nyali untuk memberontak pada kolonial Belanda. Kerenanya, setiap warga pribumi yang pulang dari Makkah kemudian diwaspadai.
Salah satu bentuk kewaspadaan itu dengan mengidentifikasi mereka. “Belanda mengidentifikasi dengan gelar tersebut, bahwa orang yang datang lagi ke Indonesia setelah pergi haji, maka dipastikan akan melawan Belanda. Hal ini bisa dilacak dari para pejuang yang ternyata memang banyak bergelar Haji, seperti H Hasyim Asy’ari, H Agus Salim, H Ahmad Dahlan, dan yang lain,” tegasnya.
Advertisement
Gelar Haji Bukan dari Belanda
Gelar haji ini sudah digunakan oleh umat Islam sejak zaman dahulu, tak terkecuali di Indonesia. Beberapa naskah sudah menyebut orang dengan bergelar haji, misalnya Haji Sunda dalam Babad Cirebon.
Hal itu disampaikan oleh Sejarawan NU, H Abdul Mun’im DZ, saat diwawancarai NU Online pada Selasa (28/6/2022). Karenanya, ia menegaskan, bahwa gelar haji disandang oleh umat Islam bukan atas dasar ordonansi Belanda pada 1859, melainkan sudah lebih lama dari itu. Ia juga menyebut para ulama dan raja di Riau sejak dahulu sudah menggunakan gelar itu pada abad 17 dan 18.
“Memang sudah lama, jauh sebelum Belanda menerapkan ordonansi Haji. Ordonansi baru 1859. Baru efektif pada tahun 1872 karena Belanda baru mendapat konsulat di Jeddah,” katanya.
Mun’im menjelaskan bahwa penyematan gelar haji dari Belanda itu digunakan untuk mengontrol dan mencatat pergerakan kaum nasionalis. Pasalnya, kebanyakan haji ini membawa gerakan kemerdekaan. Sepulang dari haji, mereka menjadi seorang yang militan dalam pergerakan.
“Termasuk ulama-ulama pemberontakan, rata-rata haji. Pemberontakan Banten rata-rata haji. Itu juga pasca Diponegoro,” ujar Mun’im. Penerapan ordonansi itu respons sebagai pergerakan peran umat Islam sepulang dari menunaikan ibadah di tanah suci Makkah.
Mun’im menyebut bahwa Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari sendiri memulai gerakannya dari Makkah, begitupun para ulama lainnya. Baca Juga:
“Belanda tahu asalnya dari sana. Makanya langsung membuat ordonansi hingga membatasi,” tuturnya. Setelah ada ordonansi, umat Islam Indonesia tetap menggunakan gelar haji pada namanya. “Haji Misbach, Haji Samanhudi, Haji Hasyim Asy’ari. Beda dengan gelar Haji dari Belanda,” katanya.
Bahkan, para ulama NU juga mencantumkan gelar tersebut dalam deklarasi NU. “Kalau di NU statute 1926, semuanya menggunakan gelar haji. Ditulis lengkap,” ujarnya.
Jika gelar haji itu karena ordonansi Belanda, kata Mun’im, dapat dipastikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengharamkannya. “Kalau (gelar haji) diklaim Belanda bisa saja melarang. Kiai Hasyim kan sensitif sekali dengan Belanda. tetapi tetap memakai. Dia merujuk tidak pada ordonansi, tetapi pada fakta sejarah,” jelasnya.
Ia mencontohkan, bahwa Kiai Hasyim membuat fatwa tidak wajib berhaji pada masa agresi militer Belanda. Hal itu sebagai bentuk perlawanan terhadap propaganda Belanda yang sudah siap memberangkatkan umat Islam Indonesia dengan kapal dan perjalanan terbaik.
“Belanda rugi besar karena sudah menyediakan fasilitas yang bagus-bagus, dikasih fasilitas macam-macam. Belanda sudah investasi banyak. Mbah Hasyim ngerti geopolitik,” ungkapnya.
Sementara itu, sudah ada sertifikasi haji dari para ulama di sana dalam bentuk pernyataan tertulis, lengkap dengan perubahan namanya.
“Itu ada sertifikatnya. Kita mengacu pada itu, bukan sertifikasinya Belanda,” tegas Mun’im.
Penulis: Nugroho Purbo
Ulama NU Setamatkan Gelar Haji dalam NU Statute 1926
Bahkan, para ulama NU juga mencantumkan gelar tersebut dalam deklarasi NU. “Kalau di NU statute 1926, semuanya menggunakan gelar haji. Ditulis lengkap,” ujarnya.
Jika gelar haji itu karena ordonansi Belanda, kata Mun’im, dapat dipastikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengharamkannya. “Kalau (gelar haji) diklaim Belanda bisa saja melarang. Kiai Hasyim kan sensitif sekali dengan Belanda. tetapi tetap memakai. Dia merujuk tidak pada ordonansi, tetapi pada fakta sejarah,” jelasnya.
Ia mencontohkan, bahwa Kiai Hasyim membuat fatwa tidak wajib berhaji pada masa agresi militer Belanda. Hal itu sebagai bentuk perlawanan terhadap propaganda Belanda yang sudah siap memberangkatkan umat Islam Indonesia dengan kapal dan perjalanan terbaik.
“Belanda rugi besar karena sudah menyediakan fasilitas yang bagus-bagus, dikasih fasilitas macam-macam. Belanda sudah investasi banyak. Mbah Hasyim ngerti geopolitik,” ungkapnya.
Sementara itu, sudah ada sertifikasi haji dari para ulama di sana dalam bentuk pernyataan tertulis, lengkap dengan perubahan namanya.
“Itu ada sertifikatnya. Kita mengacu pada itu, bukan sertifikasinya Belanda,” tegas Mun’im.
Penulis: Nugroho Purbo
Advertisement