Sukses

Dilema Dahulukan Daftar Haji Pribadi atau Biayai Haji Orangtua? Ini Pandangan Ulama

Pandangan para ulama tentang pilihan antara melaksanakan kewajiban haji pribadi atau menghajikan orang tua terlebih dahulu

Liputan6.com, Jakarta - Berkunjung ke tanah suci tentunya merupakan impian semua orang. Di haramain (dua tanah haram/mulia, Makkah dan Madinah) banyak tempat-tempat bersejarah yang penuh dengan keberkahan. 

Impian mengunjunginya tidak hanya merupakan cita-cita pribadi, tetapi juga menyertakan orang-orang yang dicintai, semisal kedua orangtua. Merupakan harapan kebanyakan orang untuk bisa membiayai haji orangtuanya.

Dilema muncul ketika dana yang dimiliki hanya cukup untuk menghajikan diri sendiri. Satu sisi sang anak yang belum pernah haji masih terkena beban menjalankan rukun Islam yang kelima tersebut.

Namun di sisi yang lain, ia juga punya tekad kuat membahagiakan orang tuanya. 

Dalam kondisi demikian, manakah yang lebih utama didahulukan? Mendahulukan haji pribadi atau membiayai haji orangtua?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Pendapat Para Ulama

Mengutip dari laman NU Online, dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’i, orang yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, berkewajiban melaksanakan haji, tapi ia tidak diharuskan berhaji secepatnya, boleh ia tunda di tahun-tahun mendatang dengan syarat adanya tekad kuat untuk melaksanakannya dan tidak ada dugaan kegagalan disebabkan suatu hal misalkan lumpuh atau kebangkrutan. 

Oleh karenanya, dalam konteks ini sah-sah saja bagi sang anak untuk memilih antara mendahulukan hajinya sendiri atau menghajikan orang tuanya, sebab tidak ada kewajiban baginya untuk menyegerakan haji pribadi.

Namun bila melihat pertimbangan keutamaan, yang lebih baik dilakukan adalah mendahulukan hajinya sendiri. Sebab mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh. Dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan:

 الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ

Artinya: “Mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh, dan di dalam urusan lain disunnahkan".

 

3 dari 3 halaman

Kewajiban Haji

Pilihan untuk mendahulukan haji pribadi juga dilakukan atas dasar menjaga perbedaan pendapat ulama yang menyatakan kewajiban haji adalah segera, tidak boleh ditunda, bahkan ini adalah pendapat tiga imam madzahib al-arba’ah selain Imam Syafi’i. Syekh Ibnu Quddamah menegaskan:

 مَسْأَلَةٌ قَالَ: فَمَنْ فَرَّطَ فِيهِ حَتَّى تُوُفِّيَ، أُخْرِجَ عَنْهُ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ 

Artinya: “Berkata sang pengarang; barangsiapa teledor di dalam haji sampai wafat, maka dikeluarkan dari seluruh hartanya untuk melaksanakan haji dan umrah atas nama dia".

 وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، وَأَمْكَنَهُ فِعْلُهُ، وَجَبَ عَلَيْهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ تَأْخِيرُهُ. وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَة، وَمَالِكٌ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَجِبُ الْحَجُّ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، وَلَهُ تَأْخِيرُهُ 

Artinya: “Detail persoalan tersebut adalah bahwa seseorang yang berkewajiban haji dan mungkin baginya untuk melaksanakan, maka wajib baginya melakukan segera, tidak boleh mengakhirkannya. Ini juga pendapat Abu Hanifah dan Malik. Berkata Imam al-Syafi’i; wajib haji baginya dengan kewajiban yang dilapangkan, dan boleh mengakhirkannya,” (Syekh Ibnu Quddamah, al-Mughni, juz 3, hal. 232). 

Dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan: 

اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ 

Artinya: “Keluar dari perbedaan ulama adalah disunnahkan”. 

Mendahulukan haji pribadi dalam konteks ini bukan berarti su’ul adab kepada orangtua. Kewajiban berangkat haji pribadi dan berbakti kepada orang tua bukanlah sebuah hal yang patut dipertentangkan, karena seorang anak tetap bisa berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakannya saat ia berada di tempat-tempat mustajab seperti Multazam, orang tua yang berada di tanah air pasti senang dengan hal itu.

Bila punya kemampuan finansial berlebih, mengajak orangtua secara bersama-sama menunaikan ibadah haji tentu lebih utama. Wallahu a'lam.