Liputan6.com, Jakarta - Jemaah haji asal Indonesia yang meninggal di tanah suci makin bertambah. Pada Sabtu (10/6/2023), jumlah jemaah haji meninggal telah mencapai 37 orang.
Angka ini cukup tinggi, mengingat saat ini baru masa awal ibadah haji. Terlebih, baru separuh jemaah haji Indonesia yang diberangkatkan ke tanah suci.
Keluarga yang ditinggalkan tentu saja berduka. Namun, para jemaah haji yang meninggal di tanah suci sesungguhnya adalah golongan yang beruntung.
Advertisement
Baca Juga
Dalam hadis disebut sejumlah keutamaan meninggal saat beribadah haji atau umrah di tanah suci. Disebut bahwa kematian tersebut setara syahid. Kemudian, ada janji surga untuk jemaah haji yang meninggal saat beribadah haji.
Karena keutamaan-keutamaan meninggal saat beribadah haji ini, ada sebagian umat Islam yang berharap meninggal di tanah suci.
Pertanyaannya, bolehkah seseorang berharap meninggal di tanah suci saat beribadah haji atau umrah, mengingat kematian itu adalah musibah terutama bagi keluarga yang ditinggalkan?
Menjawab pertanyaan tersebut, M Mubasysyarum membahasnya dengan tuntas, dalam tulisannya di laman NU Online.
Simak Video Pilihan Ini:
Nabi Larang Seseorang Berharap Kematian karena Musibah
Sebelum menjelaskan boleh dan tidaknya berharap meninggal dunia di tanah suci, M Mubasyarum menyodorkan fakta bahwa Nabi Muhammad SAW melarang umatnya mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa. Nabi mengajarkan untuk berdoa agar diberikan hal yang terbaik, mati atau hidup, bukan dengan mengharapkan kematian. Nabi SAW bersabda:
لا يتمنين أحدكم الموت لضر أصابه فإن كان لا بد فاعلا فليقل اللهم أحيني ما كانت الحياة خيرا لي وتوفني إذا كانت الوفاة خيرا لي
Artinya, “Sungguh janganlah kalian berharap kematian karena bahaya yang menimpa. Bila tidak bisa menghindar, maka berdoalah, ya Allah hidupkanlah aku bila kehidupan lebih baik bagiku, matikanlah aku bila kematian lebih baik bagiku,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam penjelasannya atas hadits tersebut, Syekh Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi berkata:
قوله : (لا يتمنينّ أحدكم الخ) أي : لأنه كالتبرّي عن قضاء الله في أمر ينفعه في آخرته
Artinya, “Sabda Nabi, sungguh janganlah kalian mengharapkan kematian, karena sesungguhnya hal tersebut seperti terbebas dari kepastian Allah dalam perkara yang bermanfaat untuk akhiratnya,” (Lihat Syekh Muhammad bin Abdil Hadi As-Sindi, Hasyiyah As-Sindi ‘alal Bukhari, juz IV, halaman 50).
Dari keterangan hadits tersebut, para pakar fiqih merumuskan bahwa mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa hukumnya makruh. Saat terkena cobaan, manusia tidak sepantasnya untuk berburuk sangka kepada Allah atau berputus asa, bisa jadi musibah yang menimpa merupakan sesuatu yang terbaik untuk dunia dan urusan akhiratnya, adakalanya menghapus dosa-dosa yang lalu dan mensucikan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
Saat Nabi menyambangi laki-laki berusia senja yang tengah mengalami sakit panas, ia bersabda, “thahurun, insya Allah” (tidak apa-apa, insya Allah sakit ini mensucikan kesalahan-kesalahan).
Advertisement
Mengharap Kematian Bisa Sunnah
Namun demikian, tidak selamanya berharap kematian merupakan hal yang buruk. Mengharapkan kematian hukumnya bisa menjadi sunnah apabila karena tujuan yang baik, misalkan berharap mati syahid di jalan Allah, berharap mati di tiga kota suci (Makkkah, Madinah dan Baitul Maqdis) atau karena khawatir terfitnah agamanya. Disamakan dengan anjuran berharap mati di tiga kota suci, berharap mati di tempatnya orang-orang saleh.
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:
وفي المجموع يسن تمنيه ببلد شريف أي مكة أو المدينة أو بيت المقدس وينبغي أن يلحق بها محال الصالحين
Artinya, “Di dalam Kitab Al-Majmu’, sunnah mengharapkan kematian di tempat mulia, yaitu Mekah, Madinah dan Baitul Maqdis, seyogianya disamakan juga dengan tiga tempat tersebut, tempatnya orang-orang saleh,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, juz III, halaman 182).
Ada perbedaan istilah apakah berharap syahid atau mati di tempat suci termasuk mengharapkan kematian atau bukan. Menurut Syekh Sayyid Al-Bashri, mengharapkan kematian di tempat yang mulia sebenarnya bukan termasuk mengharapkan kematian, namun mengaharapkan sifat atau kondisi tertentu saat kematian tiba.
Syekh Ali Syibramalisi dan Syekh Abdul Hamid Al-Syarwani tidak menyetujui kemutlakan pendapat Syekh Sayyid Al-Bashri di atas, namun harus diperinci. Bila harapan tersebut dikhususkan dengan perjalanan atau tahun tertentu, semisal saat berihram haji atau umrah berharap mati di tanah suci dan tidak kembali ke tanah air, maka termasuk berharap kematian.
Bila harapannya dimutlakkan, maka bukan termasuk berharap kematian, namun mengharapkan kondisi tertentu saat kematian tiba, seperti berdoa menjadi syahid atau berada di tanah suci saat ajal menjemput. Dalam titik harapan yang dimutlakan ini, pada hakikatnya seperti doa-doa pada umumnya, yaitu berdoa diberi kondisi yang terbaik saat meninggal dunia.
Seakan-akan ia berdoa “Bila engkau mematikanku, matikanlah aku sebagai syahid atau di kota Mekah”, sebagaimana doa yang diteladankan Nabi Yusuf “Matikanlah aku dalam keadaan Muslim dan susulah aku dengan orang-orang saleh.”
Berharap Mati di Tanah Suci Sunnah
Meski demikian, ulama-ulama tersebut sepakat bahwa berharap mati di tanah suci hukumnya sunah, mereka hanya berbeda sudut pandang dalam sebuah istilah “harapan kematian.” Namun sepakat secara hukum, yaitu sunnah. Penjelasan demikian sebagaimana keterangan referensi di bawah ini:
قوله )يسن تمنيه ببلد إلخ) بالتأمل الصادق يظهر أن تمني الشهادة وتمني الموت بمحل شريف ليس من تمني الموت بل تمني صفة أو لازم له عند عروضه بصري أقول وهذا فيما إذا تمنى ذلك وأطلق وأما إذا تمنى ما ذكر وقيده بنحو سفر أو عام مخصوص فظاهر أنه من تمني الموت
Artinya, “Ucapan Syekh Ibnu Hajar, sunah berharap kematian di tempat mulia, dengan pemikiran yang benar, tampak jelas bahwa sesungguhnya berharap mati syahid dan mati di tempat mulia bukan termasuk mengharapkan kematian, tetapi mengharapkan sifat atau kondisi yang menetapi kematian saat ia tiba, keterangan dari Syekh Sayyid Al-Bashri. Aku (Syekh Syarwani) berkomentar, yang demikian ini bila berharap kematian dan memutlakannya. Adapun bila berharap mati sebagaimana demikian dan dibatasi dengan perjalanan atau tahun tertentu, maka jelas bahwa hal tersebut termasuk berharap kematian. Keterengan dari Syekh Ali Syibramalisi.”
عبارة ع ش ولا يتأتى أن ذلك من تمني الموت إلا إذا تمناه حالا أو في وقت معين أما بدون ذلك فيمكن حمله على أن المعنى إذا توفيتني فتوفني شهيدا أو في مكة إلخ كما قيل به في الجواب عن قول سيدنا يوسف صلى الله وسلم على نبينا وعليه { توفني مسلما وألحقني بالصالحين } ا هـ .
Artinya, “Teks lengkap pernyataan Syekh Ali Syibramalisi, hal yang demikian tidak dapat masuk kategori berharap kematian kecuali berharap mati saat itu atau pada waktu tertentu. Bila tidak demikian, maka mungkin diarahkan bahwa arti dari harapan tersebut adalah, bila engkau matikan aku, maka matikanlah sebagai syahid atau di kota Mekah, dan lain-lain, seperti diucapkan dalam jawaban doanya Sayyidina Yusuf, ya Allah, matikanlah aku sebagai muslim dan susulah aku dengan orang-orang saleh,” (Lihat Syekh Abdul Hamid As-Syarwani,Hasyiyatus Syarwani ‘ala Tuhfatil Muhtaj, juz III, halaman 182).
Demikian penjelasan mengenai hukum mengharapkan mati di kota suci. Pada kesimpulannya hukumnya sunah, namun tetap harus disertai dengan semangat untuk menjaga kualitas hidup menjadi lebih baik, bukan justru menjadikannya putus asa. Wallahu a‘lam. (M Mubasysyarum Bih)
Tim Rembulan
Advertisement