Sukses

Bagaimana Hukum Islam tentang Hewan Kurban Terjangkit Virus PMK?

Para pedagang hewan kurban baik sapi maupun kambing dan domba, diminta waspada mengenai adanysa kemungkinan hewan kurban terjangkit virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Liputan6.com, Jakarta - Para pedagang hewan kurban baik sapi, kambing dan domba, diminta waspada mengenai adanysa kemungkinan hewan kurban terjangkit virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).

Adanya PMK ini membuat khawatir pedagang maupun pembeli, lantaran kesehatan kurang terjamin. Beruntung di setiap daerah di Indonesia memiliki pos kesehatan hewan, yang salah satunya bertugas mengecek kondisi dan kesehatan hewan. Layak menjadi hewan kurban dan konsumsi atau tidak.

Lalu bagaimana dengan Penyakit Mulut dan Kuku pada hewan kurban, sapi dan kambing ini?

Penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan salah satu penyakit viral yang bersifat akut, sangat menular pada ternak (hewan berkuku belah), terutama sapi, kerbau, kambing, domba, babi, rusa, kijang, unta, dan gajah. 

Gejala klinis PMK dengan kategori berat ditandai dengan lepuhan besar yang jika pecah maka akan meninggalkan luka, pincang, penurunan berat badan, penurunan produksi susu secara signifikan, bahkan bisa sampai pada kematian hewan ternak.

Pertanyaannya, bagaimana hukum Islam mengenai hewan kurban terjangkit virus PMK. Bolehkah dijadikan hewan kurban?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

4 Jenis Cacat yang Membuat Hewan Kurban Tidak Sah

Menurut keterangan dokter ahli yang dihadirkan pada forum bahtsul masail LBM PBNU pada 31 Mei 2022, forum LBM PBNU kemudian melakukan kajian lebih lanjut terkait kelayakan berkurban menggunakan hewan ternak yang terjangkit PMK. 

"Kajian LBM PBNU tentang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tertanggal, Selasa, 7 Juni 2022, kemudian memutuskan bahwa gejala klinis hewan yang terjangkit PMK memiliki titik persamaan dengan beberapa contoh yang tersebut dalam hadits dan memenuhi kriteria ‘aib (cacat) dalam fiqih," dikutip dari laman NU Online.

Adapun hadits yang dimaksud adalah hadits riwayat Ibnu Majah sebagai berikut:

  أَرْبَعٌ لا تُجْزِئُ في الأَضَاحِي: العَوْرَاءُ البَيِّنُ عَوَرُها والمَرِيْضَةُ البَيِّنُ مَرَضُها والعَرْجَاءُ البَيِّنُ ظَلَعُها والكَسِيْرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي 

Artinya: “Ada 4 hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, (1) yang sebelah matanya jelas-jelas buta (Jawa: picek), (2) yang jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang kakinya jelas-jelas pincang, dan (4) yang badannya sangat kurus dan tak berlemak,” (HR Ibnu Majah). 

Berdasarkan hadits ini para ulama bersepakat bahwa hewan ternak yang mengalami empat jenis cacat berat di atas tidak memenuhi syarat sah untuk digunakan sebagai hewan kurban. 

 ضابط المجزئ في الاضحية السلامة من عيب ينقص اللحم أو غيره مما يؤكل 

Artinya, “Kriteria ternak yang memadai sebagai hewan kurban adalah terbebas dari aib yang dapat mengurangi daging atau bagian tubuh lainnya yang biasa dikonsumsi,” (M As-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna fi Halli Alfazhi Abi Syuja, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 590).

“Berkurangnya daging yang menyebabkan hewan ternak tidak sah dikurbankan ini tidak disyaratkan harus terjadi seketika. Namun seluruh hewan ternak yang dagingnya berkurang saat itu juga (hal) atau pun memiliki potensi kuat berkurang di kemudian hari (ma’al) maka hewan tersebut tidak sah dikurbankan,” demikian bunyi putusan kajian LBM PBNU Tentang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tertanggal, Selasa, 7 Juni 2022. 

 Penulis: Nugroho Purbo