Liputan6.com, Jakarta - Dinamakan wudhu karena bertujuan membersihkan. Dan merupakan thaharah atau bersuci. Wudhu berasal dari al wadhah artinya indah dan baik.
Pengertian wudhu tentu perlu dipahami oleh seluruh umat Islam. Pasalnya, salah satu rukun sholat ini wajib dilakukan agar Allah SWT menerima sholat atau setiap ibadah dilaksanakan dan dianggap sah.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian wudhu adalah menyucikan diri (sebelum sholat) dengan membasuh muka, tangan, kepala, dan kaki. Sementara itu, dilansir dari Wikimuslim, pengertian wudhu secara istilah adalah menggunakan air yang dapat mensucikan pada empat anggota tubuh (Wajah, tangan, kepala, kaki) dengan sifat yang khusus menurut syariat.
Advertisement
Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya: "Allah tidak menerima sholat salah seorang di antara kamu sampai ia berwudhu." (H.R Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi). Menilik sabda Nabi Muhammad SAW tersebut, telah jelaslah betapa pentingnya berwudhu dalam ibadah.
Baca Juga
Menurut bahasa, pengertian wudhu berasal dari kata wadha’ah yang berarti kebersihan dan baik. Sederhananya pengertian wudhu adalah salah satu cara menyucikan anggota tubuh dengan air. Hal ini berkaitan dengan seorang muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat. Berwudu bisa pula menggunakan debu yang disebut dengan tayammum.
Orang berhaji atau umrah rukunnya melakukan tawaf sebanyak tujuh putaran, mengelilingi Ka'bah. Saat tawaf kondisi tubuh wajib suci atau berwudhu.
Setelah thawaf biasanya menuju salah satu pojok Ka'bah yaitu Hajar Aswad. Tempat mustajabah ini sangat diburu oleh masyarakat di dunia. mencium atau sekedar menyentuhnya.
Hajar Aswad adalah batu mulia yang terdapat pada salah satu sudut Ka'bah. Menurut sebuah hadits, mencium Hajar Aswad bisa menghapuskan dosa.
Simak Video Pilihan Ini:
Nabi Muhammad SAW Pernah Sentuh Hajar Aswad dengan Tongkat
Dalam Shahih Bukhari pada Kitab ke-25, Kitab Haji bab ke-50, bab keterangan tentang Hajar Aswad, terdapat sebuah hadis yang berisi kesunnahan mencium Hajar Aswad. Dikatakan,
. حَدِيثُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى الْحَجَرِ الأَسْوَدِ فَقَبَّلَهُ فَقَالَ: إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلَكَ مَا قبلتك أخرجه البخاري في
Artinya: Umar RA ketika mencium Hajar Aswad berkata: "Sungguh aku tahu bahwa engkau hanyalah batu yang tidak membahayakan dan tidak berguna. Andaikan aku tidak melihat Nabi SAW menciummu, maka kau tidak akan menciummu."
Ibnu Abbas RA juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW juga pernah menyentuh Hajar Aswad dengan tongkat. Kala itu, Nabi SAW sedang tawaf ketika Haji Wada' sambil mengendarai unta. Hadis ini dikeluarkan oleh Bukhari pada Kitab ke-25, Kitab Haji bab ke-58, bab menyentuh rukn (Hajar Aswad) dengan tongkat.
Kedua hadis tersebut turut dihimpun Muhammad Fu'ad Abdul Baqi dalam Kitab Al-Lu'Lu wal Marjan, sebuah kitab yang memuat hadits shahih Bukhari dan Muslim disertai ringkasan musthalah hadits.
Lalu Bagaimanakah jika berdesakan saat menyentuh Hajar Aswad lawan jenis, batalkah wudhu orang tersebut?
Advertisement
Perbedaan Pendapat Mengenai Bersentuhan Lawan Jenis
Mengutip suaramuhammadiyah.id pembahasan tentang bersentuhan dengan lawan jenis tercantum dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat 6 dengan lafal sebagai berikut,
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَائِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ ٱللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Kata لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَاءَ (laamastum an-nisa) pada ayat tersebut menuai perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Sebagian memaknainya secara hakiki, yakni persentuhan kulit laki-laki dan perempuan dan sisanya memaknai secara majazi yakni setubuh (hubungan seksual suami istri).
Pendapat pertama, antara lain pendapat ‘Umar ibn al-Khaththab dan Ibn Mas’ud, yang mengartikan dengan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Pendapat kedua, antara lain pendapat ‘Ali ibnu Abi Thalib dan Ibn ‘Abbas yang mengartikan potongan ayat di atas dengan setubuh.
Perbedaan pemahaman ini mengakibatkan perbedaan pendapat tentang batal atau tidaknya wudhu karena sebab persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat yang pertama, persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan membatalkan wudu. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Syafi’iyah dan ulama Hanbaliyah.
Adapun menurut pendapat yang kedua, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan membatalkan wudu apabila menimbulkan syahwat.
Muhammadiyah dalam Putusan Tarjihnya, menetapkan bahwa kata laamastum an–nisa dalam ayat tersebut bermakna majazi, yakni bersetubuh, sehingga persentuhan kulit antara lawan jenis tidaklah membatalkan wudu. Hal ini didukung oleh beberapa hadis, antara lain seperti yang diriwayatkan ‘Aisyah istri Rasulullah berikut ini,
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ [رواه المسلم والترمذى وصححه].
Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah SAW dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang kedua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud [H.R. Muslim dan Tirmidzi serta mensahihkannya].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّى وَإِنِّى لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِى بِرِجْلِهِ [رواه النسائى].
Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) ia berkata: Pernah Rasulullah SAW shalat dan aku berbaring di depannya melintang seperti mayat, sehingga ketika beliau hendak shalat witir, beliau menyentuhku dengan kakinya [H.R. an-Nasai].
Kisah 'Aisyah Sentuh Rambut Nabi Muhammad SAW
Bahkan pada kesempatan lain, ‘Aisyah tidak hanya memegang kedua telapak kaki Nabi SAW, namun hingga menyentuh rambut Nabi SAW untuk meyakinkan dirinya bahwa Nabi SAW tidak meninggalkannya untuk bertemu istri-istri beliau yang lain. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syaukani dalam kitab Nail al-Authar dan ditakhrij salah satunya dalam al-Mu’jam al-Awsath sebagai berikut,
عَنْ عَائِشَةَ فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُلْتُ: إِنَّهُ قَامَ إِلَى جَارِيَتِهِ مَارِيَةَ، فَقُمْتُ أَلْتَمِسُ الْجِدَارَ، فَوَجَدْتُهُ قَائِمًا يُصَلِّي، فَأَدْخَلْتُ يَدَيَّ فِي شَعْرِهِ لأَنْظُرَ اغْتَسَلَ أَمْ لَا، فَلَمَّا انْصَرَفَ, قَالَ: أَخَذَكِ شَيْطَانُكِ يَا عَائِشَةُ.
Dari ‘Aisyah (diriwayatkan), Aku tidak mendapati Rasulullah SAW suatu malam, kemudian aku berkata, sesungguhnya Rasulullah pergi ke istrinya Mariyah lalu aku berdiri dan meraba-raba dinding, maka tiba-tiba aku mendapati Rasulullah sedang mendirikan shalat. Segera aku masukkan tanganku ke rambutnya untuk melihat apakah dia baru saja mandi junub atau tidak. Setelah Rasulullah selesai beliau berkata: Setan telah menggiringmu ya Aisyah.
Istidlal di atas meskipun berkenaan dengan persentuhan lawan jenis antara suami istri, akan tetapi dapat dipahami secara umum, yakni persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan secara umum selama itu tidak bersenggama, maka tidaklah membatalkan wudu. Bahkan pada suatu kesempatan Nabi Muhammad SAW tidak hanya bersentuhan kulit dengan lawan jenis, melainkan menciumnya, seperti diterangkan pada hadis berikut,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأَ … [رواه أحمد].
Dari ‘Aisyah (diriwayatkan), bahwasannya Rasulullah mencium sebagian istrinya lalu beliau keluar untuk shalat dan tidak mengulang wudhunya … [H.R. Ahmad].
Aktivitas mencium yang lebih intim saja tidak membatalkan wudu menurut keterangan dalam hadis tersebut, apalagi jika hanya sekedar persentuhan kulit. Dengan demikian, shalat subuh yang saudara tunaikan, baik dilakukan setelah berdesak-desakan sewaktu tawaf atau setelah tawaf tetaplah sah selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu sesuai tuntunan syariat. Wallahu A'lam.
Penulis: Nugroho Purbo
Advertisement