Liputan6.com, Jakarta - Ibadah kurban adalah menyembelih hewan tertentu pada momen Idul Adha. Jenis hewan yang dapat dikurbankan adalah hewan ternak. Di antaranya sapi, unta, dan kambing/domba.
Melaksanakan hewan kurban hukumnya sunnah muakkad. Bagi muslim yang mampu dapat menyisihkan rezekinya untuk berkurban.
Waktu pelaksanaan hewan kurban dimulai setelah sholat Idul Adha (10 Dzulhijah) dan hari tasyrik (11-13 Dzulhijah). Umat Islam boleh menyembelih hewan kurban kapan saja selama masih dalam periode tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Dalam pelaksanaan kurban kerap kali muncul pertanyaan yang sering ditanyakan setiap tahunnya. Salah satu pertanyaannya adalah tentang kebolehan menjual kulit hewan kurban.
Pertanyaan ini disampaikan oleh salah satu jemaah Al Bahjah kepada KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya.
“Bagaimana jika kulit hewan kurban dijual oleh panitia kemudian uang hasil penjualannya diatribusikan ke fakir miskin atau kepada orang yang berhak menerimanya? Apakah boleh?” tanyanya dikutip dari YouTube Buya Yahya, Sabtu (24/6/2023).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan Buya Yahya
Menjawab pertanyaan tersebut, Buya Yahya menjelaskan, daging kurban termasuk kulitnya harus dibagikan kepada orang lain. Pada prinsipnya, daging maupun kulit hewan kurban tidak boleh dijual.
“Kulit tidak boleh dijadikan upah bagi sang penyembelih. Dan sang penyembelih tidak boleh menjadikan upahnya dari daging kurban,” ujarnya.
“Jadi, tidak boleh (menjadikan) daging itu bayaran dari penyembelihan atau kulitnya tidak boleh jadi bayaran penyembelihan,” lanjut Buya Yahya.
Terkecuali, lanjut Buya Yahya, apabila seorang penyembelih itu senang dengan kulit hewan kurban, maka itu boleh. Dengan catatan, kulit tersebut bukan sebagai gaji dari penyembelihan.
“Boleh diambil. Saya gak suka daging, saya sukanya kulit. Ambil kulit. Tapi dijual kulit tidak boleh,” imbuhnya.
Beda kasusnya apabila tidak ada yang bisa mengolah kulit hewan kurban. Maka, menurut Buya Yahya, panitia boleh menjual kulit tersebut sebagaimana pendapat mazhab Hanbali dan Hanafi.
“Panitia boleh menjual kulit kurban tersebut. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan juga Imam Abu Hanifah boleh menjual kulit karena kalau dibagikan tidak manfaat. Semua orang belum tentu bisa mengolah. Boleh menjual kulit tersebut kemudian hasilnya dikembalikan kepada orang yang berhak menerima kurban tadi,” jelasnya.
Menurut Buya Yahya, hal tersebut lebih maslahat ketimbang membagikan kulit kepada penerima kurban namun ternyata dibuang karena tidak bisa mengolahnya.
“Ini (menjual kulit karena tidak ada yang bisa mengolah) kemudahan, tapi selagi bisa dibagi dan bermanfaat bagi mereka bagilah sesuai mazhab kita Imam Syafii,” tandasnya.
Advertisement