Liputan6.com, Banyumas - Temuan tulang 4 bayi di sebidang tanah di Kelurahan Tanjung, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah bikin geger warga.
Spekulasi pun beredar usai penemuan tulang belulang bayi tersebut. Dugaan pertama, janin yang digugurkan. Kedua pembunuhan bayi.
Belakangan diketahui, bayi-bayi nahas itu adalah hasil hubungan terlarang bapak dan anak, yang keduanya kini telah menjadi tersangka.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip kanal Regional Liputan6.com, Kerangka bayi pertama ditemukan pada Kamis 15 Juni 2023.
Ketika itu, pemilik tanah, Prasetyo Tomo (42), mempekerjakan enam orang untuk menguruk sekaligus membersihkan tanahnya. Tanah yang ia beli pada Maret 2023 itu semula kolam.
Tanpa diduga, cangkul seorang pekerja bernama Slamet yang menancap ke dalam tanah menyangkut kain yang berisi tulang belulang. Setelah bungkusan kain dibuka, ternyata itu tulang manusia.
Para pekerja itu semula hendak membuang tulang itu ke Kedung Malang, ceruk Sungai Banjaran persis di sebelah bidang tanag itu. Namun Tomo mencegah. Ia pantas melaporkan temuan tulang itu ke ketua RT 01 RW 04 Kelurahan Tanjung, Banyumas.
Dari laporan ini, kasus ini terungkap. Polisi yang menerima laporan datang ke lokasi dan membawa tulang itu ke dokter forensik.
Hasil pemeriksaan dokter forensik menyatakan itu tulang manusia. Diperkirakan tulang bayi ini berusia sehari hingga setahun.
Enam hari kemudian, persisnya Rabu 21 Juni 2023, pekerja kembali meneruskan pekerjaan meratakan bidang tanah yang hendak dijadikan kebun buah oleh pemiliknya. Pekerja kembali menemukan tulang belulang bayi.
Karena kembali ditemukan tulang manusia, penggalian difokuskan mencari kemungkinan tulang lain. Dan benar, ditemukan dua lagi di sisi yang lain.
Masing-masing dibungkus kain. Temuan rangka kedua dibungkus kain pembungkus kasur. Rangka ketiga dibungkus kain warna biru dan keempat dibungkus kaos dalam singlet.
Polisi memeriksa lima orang saksi. Keterangan para saksi mengarah pada satu keluarga yang pernah tinggal di gubuk seserhana di bidang tanah itu.
Di situlah Linda tinggal berdua bersama ayahnya. Ibunya tak lagi bersama ayahnya. Namun mereka pindah setelah warga resah dengan hubungan ayah anak yang menjurus pada hubungan terlarang.
Kasus ini hanyalah satu potret dari sekian banyak hubungan seksual oleh orang yang memiliki hubungan sedarah atau sekeluarga. Dalam bahasa populer, hubungan seksual sedarah ini disebut dengan inses.
Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai inses?
Simak Video Pilihan Ini:
Hukum Inses atau Incest dalam Islam
Mengutip visimuslim.org, inses atau incest dalam bahasa Arab juga disebut ghîsyân al-mahârim, sifâh al-qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah, karena kekerabatan. Incest ini kadang dilakukan dengan sukarela di antara mereka dan ada pula yang dilakukan dengan paksaan.
Terlepas dari, apakah dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, dampak dari incest ini adalah rusaknya makna bapak, ibu, anak, saudara, paman, bibi dan seterusnya. Karena itu, tindakan ini bukan saja haram, sebagaimana haramnya perzinaan, tetapi juga merupakan tindakan iasal yang sangat keji.
Incest ini bukan saja terkena keharaman ias zina, melainkan juga keharaman hubungan seksual dengan mahram. Dengan kata lain, tindakan incest ini dikatakan telah melakukan dua keharaman sekaligus: keharaman zina dan keharaman menodai hubungan darah (mahram).
Pertama: fakta incest ini adalah fakta zina, karena hubungan seksual tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Menurut para fukaha’:
اَلزِّنَى اِسْمٌ لِوَطْءِ الرَّجُلِ اِمْرَأَةً فِيْ فَرْجِهَا مِنْ غَيْرِ نِكاَحٍ وَلاَ شُبْهَةِ نِكَاحِ…
Zina adalah istilah persenggamaan seorang pria dengan wanita pada kemaluan (vagina)-nya tanpa didasari ikatan pernikahan, maupun syubhat pernikahan.
Karena itu, dalil tentang keharaman incest adalah dalil yang menyatakan tentang keharaman zina. Dengan tegas, zina telah diharamkan oleh nash al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan cara (pemenuhan seksual) yang buruk (QS al-Isra’ [17]: 32).
Larangan Allah di dalam surat al-Isra’ ayat 32 ini disertai dengan qarînah jâzimah sehingga merupakan larangan yang tegas (nahy[an] jâzim[an]), sebagaimana firman Allah SWT:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman (QS an-Nur [24]: 2).
Advertisement
Sanksi Zina
llah memberikan sanksi kepada pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan, dengan cambukan (jild) jika mereka ghair muhshan (belum menikah), dan di-rajam (dilempari dengan batu hingga mati) jika mereka muhshan (sudah menikah).3
Kedua: larangan menikahi mahram, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا، حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Janganlah kalian mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lalu. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian; anak-anak perempuan kalian; saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian; saudara-saudara perempuan ibu kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-laki kalian; anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan kalian; ibu-ibumu yang menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isteri kalian (mertua); anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian mengawininya; (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu); dan mengumpulkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu (Jahiliah). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS an-Nisa’ [04]: 22-23).
Selain itu, Allah SWT juga berfirman:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian, (menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS al-Mujadilah [58]: 2).
Jika Allah mengharamkan zhihâr, yaitu menganggap istri sama seperti ibu, padahal itu hanyalah anggapan, maka apa yang lebih dari sekadar anggapan, yaitu berhubungan badan dengan ibunya, jelas lebih diharamkan lagi. Kesimpulan ini merupakan bentuk penarikan ias dari dalâlah iltizâm, yaitu tanbîh al-adnâ alâ al-a’lâ, atau min bâbi ias.
Dengan demikian, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang status keharamnya incest ini. Hanya saja, tetap harus dibedakan, antara orang yang melakukan incest suka sama suka, dengan terpaksa. Bagi yang melakukannya suka sama suka, secara qath’I jelas haram. Adapun bagi yang melakukannya karena terpaksa, misalnya, anak perempuan dipaksa bapaknya, atau saudara lelakinya dengan disertai ancaman fisik dan kekerasan, maka status perempuan yang menjadi korban incest tersebut ias diberlakukan kepadanya hadis Nabi saw.:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْحَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah telah meninggalkan (untuk tidak mencatat) dari umatku: kekhilafan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepada mereka (HR Ibn Hibban).
Hukum dan Status Perwalian
Dengan demikian, status pelaku incest yang terpaksa atau dipaksa ini, meski tetap haram, keharamannya diabaikan oleh Allah SWT karena dipaksa.
Adapun status anak hasil incest dan perwaliannya maka statusnya sama dengan status anak zina. Nasab anak zina tidak ias dinisbatkan kepada pasangan zinanya, karena status nasab dikembalikan pada pernikahan, sebagaimana sabda Nabi saw.:
Anak (statusnya) mengikuti tempat tidur (pernikahan), sementara orang yang berzina berhak mendapatkan batu (dirajam sampai mati) (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, baik Imam Hanafi maupun Syafii, sepakat bahwa nasab anak zina tidak dinisbatkan kepada pasangan ibunya, tetapi dinisbatkan kepada ibunya.5 Demikian juga anak tersebut tidak ias mewarisi harta pasangan zina ibunya, dan garis bapak biologisnya, tetapi boleh mewarisi dan diwarisi ibunya, dan ahli waris yang segaris dengannya.6 Adapun hak perwaliannya, karena ibu dan garis dari ibu tidak ias menjadi wali, maka status perwaliannya ias disandarkan kepada iasm (wilayat al-hakim).7 Wallâhu a’lam.
Catatan kaki:
1 Munir al-Ba’albakki, Kamus al-Maurid: Injelizi-’Arabi, ‘Arabi-Injelizi; madah: incest.
2 Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, surat an-Nur [24]: 2.
3 Hr. Muslim, Ahmad, ad-Darimi, al-Baihaqi, an-Nasai, dll.
4 Lihat, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Muktamadah, 2005, III/189.
5 Imam as-Syafi’I, Ahkâm al-Qur’ân, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1991, II/189-190; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtâr, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, V/117.
6 Jamaluddin az-Zaila’I, Tabyîn al-Haqâ’iq wa Syarh Kanz ad-Daqâ’iq, al-Marja’ al-Akbar.
7 Al-Kasani, Badâ’I ash-Shanâ’I, Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, 1996, II/466.
Sumber: visimuslim.or
Tim Rembulan
Advertisement