Sukses

Melihat Gempa M6,4 Bantul dari Perspektif Ilmiah dan Teologi, Teguran Tuhan?

Penyebab gempa dapat ditinjau dari sisi ilmiah maupun teologis

Liputan6.com, Bantul - Gempa bumi melanda Yogyakarta pada Jumat malam, 30 Juni 2023. Gempa berkekuatan Magnitudo 6,4 yang berpusat di Bantul ini dirasakan hingga Pulau Dewata, Bali.

Di wilayah dekat titik pusat gempa terpantau banyak terjadi kerusakan mulai dari rumah hingga sekolah. Pusdalops BNPB juga menyebutkan warga di beberapa wilayah merasakan guncangan kuat. 

Guncangan dengan intensitas kuat dirasakan oleh warga Kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul di DIY. sedangkan di Provinsi Jateng, antara lain dirasakan warga di Kota Surakarta, Kabupaten Kebumen dan Klaten.

Dilaporkan pula dalam bencana ini, ada satu warga Bantul yang meninggal dunia.

"Ada yang luka satu orang itu karena berlari takut itu jatuh, tetapi juga ada yang meninggal dunia 1 (orang) karena kaget, itu (data) yang sementara," kata Agus Yuli dalam jumpa pers dengan BMKG, Jumat malam (30/6/2023).

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Penyebab Gempa dari Segi Ilmiah

Maraknya gempa akhir-akhir ini membuat respons masyarakat terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa gempa ini adalah fenomena alam biasa tanpa perlu disangkut pautkan dengan ajaran agama atau teguran dari Tuhan. Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa gempa adalah tindakan Tuhan untuk menghukum manusia yang lalai dari ajarannya. 

Namun demikian jika ditinjau dari segi ilmiah, Indonesia memang termasuk ke dalam wilayah rawan gempa. Bila melihat fakta ilmiah ini, terlihat bahwa gempa bumi di Indonesia adalah hal wajar dan sama sekali tak berhubungan dengan kejadian apa pun yang dilakukan manusia. 

Namun kesimpulannya akan berbeda bila kita melihat dari sudut pandang teologis. Dari sudut pandang ini, peristiwa yang dialami manusia seluruhnya adalah bagian dari kehendak Allah yang sudah tercatat seluruhnya di Lauh Mahfudz. Allah berfirman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِي ٱلْأَرْضِ وَلَا فِيْ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ 

Artinya: "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22)   

Dalam hal ini, gempa bumi tak mempunyai status khusus yang berbeda dengan seluruh kejadian lainnya. Tak ada bedanya antara gempa bumi dan tersandung, jatuh, pegal-pegal, tertusuk duri dan seterusnya. Semuanya terjadi atas izin Allah (qadar) dan sudah tercatat proses kejadiannya sejak sebelum alam semesta tercipta (qadha’). Ini adalah konteks teologis murni yang letaknya ada dalam hati sebagai bagian dari keimanan seorang Muslim.  

3 dari 3 halaman

Hukum Menghubungkan Gempa dengan Teguran Tuhan

Pertanyaan selanjutnya, apakah ada keterkaitan antara gempa bumi dengan ulah manusia (maksiat)? Dari sisi teologis, jawabannya bisa saja demikian sebab banyak sekali ayat atau hadis yang memberitakan bahwa kejadian-kejadian yang menimpa manusia bisa diakibatkan sebab ulah buruk manusia itu sendiri. 

Allah mengingatkan hambanya dengan banyak cara, salah satunya adalah gempa bumi ini. Misalnya kisah kaum Nabi Luth yang membangkang hingga mendapat bencana alam yang sangat hebat. Namun, apakah setiap bencana gempa bumi atau bencana alam lainnya bisa ditafsirkan sebagai teguran Tuhan? Jawabannya dengan tegas adalah tidak!, sama sekali tidak!.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dari aspek teologis tak ada kekhususan dalam hal bencana alam dari kejadian apapun. Bila berbicara soal teguran Tuhan, maka teks-teks agama Islam menegaskan bahwa semua hal bisa menjadi bentuk teguran Tuhan. Sakit, rezeki yang sulit, gagal panen, kematian, dan segala ketidaknyamanan bisa menjadi bentuk teguran Tuhan agar seorang hamba kembali mengingat-Nya. Rasa berat dan enggan untuk beribadah juga bentuk teguran yang paling nyata.    

Selain itu, ada juga teguran yang tampak sebagai kenikmatan, misalnya: kekayaan, kesuksesan dan umur panjang yang disertai meningkatnya jumlah maksiat. Ini semua adalah teguran paling parah yang diberikan Allah kepada hambanya yang sudah terkunci mata hatinya. Jadi, jangan gegabah memvonis bahwa korban gempa bumi adalah orang-orang yang mendapat teguran (azab) dari Allah. Vonis semacam ini dilarang sebab hanya Allah yang tahu rahasia di balik setiap kejadian. 

Sikap kita terhadap sebuah musibah harus dipilah menjadi dua; sikap terhadap diri sendiri dan sikap terhadap orang lain. Ketika diri kita sendiri mendapat musibah, apa pun itu mulai yang ringan hingga berat, maka seyogyanya kita intropeksi jangan-jangan itu adalah teguran Tuhan kepada kita sehingga bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan bersemangat dalam beribadah.

Namun demikian ketika orang lain yang mendapatkan musibah, apa pun itu, maka kita harus melihatnya sebagai fenomena alami (sunnatullah) yang terjadi sebab faktor-faktor natural tanpa membumbuinya dengan banyak prasangka yang menyakitkan bagi korban atau keluarganya, apalagi bila yang terkena musibah bukanlah pelaku maksiat, seperti kebanyakan kasus gempa di Indonesia selama ini.