Liputan6.com, Jakarta - Dalam tradisi Jawa, hajatan atau walimah akan diperhitungkan secara matang, termasuk waktu pelaksanannya. Boleh jadi, ini adalah manajemen perencanaan matang yang diajarkan para tetua.
Secara detail, hari pelaksanaan akan diperhitungkan dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, hari lahir yang punya hajat atau shobihul hajat.
Tradisi perencanaan ini sangat baik diterapkan. Sebab, seseorang atau sebuah keluarga bisa mempersiapkan segala sesuatu dengan baik.
Advertisement
Baca Juga
Namun, lazimnya masyarakat Jawa akan menghindari melakukan hajat pada bulan Suro. Tradisi ini telah berlangsung ratusan tahun.
Suro dianggap sebagai bulan yang bisa mendatangkan malapetaka atau kesialan. Alhasil, sunat atau menikah di bulan Suro sangat dihindari.
Tak ada yang keliru dengan tradisi ini. Sebab, sebuah tempat pasti akan dipengaruhi adat dan istiadat setempat.
Tetapi, sebagai umat Islam, kita tentu memiliki prinsip tersendiri.
Perlu diketahui bahwa bulan Suro yang kita kenal sekarang adalah Muharram dalam kalender Islam. Lantaran ada peristiwa Asyura, maka disebut bulan Sura atau Suro dalam penanggalan Jawa.
Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai hajatan pernikahan atau walimatul 'ursy di bulan Suro atau Muharram akan mendatangkan malapetaka?
Simak Video Pilihan Ini:
Muharram Bulan yang Mulia dan Perintah Menikah
Untuk menjawab pertanyaan di atas, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang dimuliakan dalam Islam. Ada berbagai amal dan ibadah yang dianjurkan dilakukan pada bulan Muharram. Salah satunya, puasa sunnah Muharram.
Melihat sisi kemuliaan itu, umat Islam sebaiknya justru berlomba meraih keberkahan melalui bulan nan mulia ini.
Kembali ke soal, menikah merupakan sunnah Rasulullah SAW. Mengutip laman keislaman NU Online, apabila sudah sampai pada waktunya, maka menikahlah, sebab disunahkan bagi orang-orang yang sudah membutuhkan. Dasar diperintahkannya menikah itu terdapat dalam Al-Qur’an, hadits dan pendapat ulama.
و أنكحوا ألايامي منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم
Artinya: Dan menikahlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Yang diatur dalam agama adalah layaknya seorang untuk menikah. Prinsipnya, terletak pada kemampuan menikah. Seorang yang sudah dikatakan mampu, maka disunahkan untuk menikah. Seperti hadits Rasulullah:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فإنه اغض للبصر و أحصن للفرج، و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
Artinya: Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu terhadap biaya, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan lebih menjaga kelamin. Maka apabila tidak mampu, berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng. (Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin bin Muhammad al-Husaini asy-Syafi'i, Kifayah al-Akhyar, Surabaya: Dar al-Jawahir, t. th, juz 2, halaman: 30).
Waktu, tanggal, hari, bulan apa pernikahan yang baik, tidak diatur secara detail dalam agama. Namun, seandainya hendak ittiba’ kepada para Nabi dengan niat mencari berkah itu tidak apa-apa, karena mendapatkan kesunnahan.
Dari titik ini, dalam Islam tidak ada larangan untuk melakukan hajat atau menikah di bulan apapun, termasuk Muharram atau Suro.
Advertisement
Boleh Mengikuti Tradisi, tapi...
Atau mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dengan tidak melaksanakan pernikahan di bulan tertentu, maka hal itu boleh saja dilakukan sesuai kebiasaan. Yang terpenting tidak sampai mempunyai kepercayaan bahwa, sebab bulan Muharram pernikahan mengundang malapetaka.
Karena hal itu hanya ilmu titen, pengalaman yang berulang-ulang serta tidak pasti kebenarannya, kemudian dijadikan pedoman oleh masyarakat Jawa. Ilmu titen bisa jadi bergeser sesuai dengan perkembangan keadaan atau zaman.
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan, bahwa seseorang hendaknya tidak mempercayai apakah menikah di hari ini dan di malam ini baik atau buruk. Kepercayaan tersebut dilarang dan mendapat teguran keras agama. Perbuatan tersebut tidak ada kandungan pelajaran (‘ibrah) apapun di dalamnya. Ibnu al-Firkah selaku pakar ushul fiqih menyebutkan:
و ذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول و يعتقد انه لا يأثر إلا الله، و لكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا ، و المأثر هو الله عز و جل، فهذا عندي لا بأس به، و حيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم و غيرها من المخلوقات
Artinya: Jika terdapat seorang ahli nujum berkata serta meyakini semuanya itu adalah pengaruh dari Allah, Allah-lah yang membuat kebiasaan terhadap anggapan sesungguhnya hal itu akan terjadi demikian ketika demikian. Maka hal itu tidak masalah. Lalu, dari mana kritikan itu datang, muncul atas seseorang yang percaya terhadap pengaruh bintang dan pengaruh makhluk. Mereka percaya jika ilmu bintang itu dapat mempengaruhi nasib baik dan buruk pernikahan. (Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut: Dar al-Fikr, 1994 halaman: 337).
Perhitungan waktu dan kondisi itu penting dalam hajatan besar seperti pernikahan. Apalagi bersangkutan dengan akad nikah, awal di mana mereka (kedua mempelai) akan mengarungi bahtera kehidupan. Tentu, yang memiliki hajat ingin prosesi pernikahan dan kehidupannya lancar dan bahagia, serta sakinah mawaddah wa rahmah. Jadi, masyarakat tidak sepenuhnya salah dengan keyakinan primbon, asal titik tekannya adalah tidak ada yang dapat mempengaruhi kecuali Allah.
Tim Rembulan