Sukses

Jawaban Cerdas Ulama Ketika Dicibir karena Sholati Jenazah Waria

Sholat jenazah, juga dikenal sebagai "shalat al-janazah" atau "shalat mayit," adalah salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan untuk mendoakan dan mengucapkan penghormatan terakhir kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Sholat jenazah, juga dikenal sebagai "shalat al-janazah" atau "shalat mayit," adalah salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang dilakukan untuk mendoakan dan mengucapkan penghormatan terakhir kepada seorang muslim yang telah meninggal dunia.

Sholat jenazah merupakan kewajiban bagi umat Muslim untuk orang yang telah meninggal di sekitar mereka.

Bagi jenazah muslim, disholati adalah salah salah satu haknya, disamping dimandikan dan dimakamkan.

Tetapi bagaimana jika yang meninggal adalah waria?

Ulama tersebut bahkan sampai dicibir gara-gara mensholati jenazah waria

Dicibir karena mensholati jenazah waria, ulama tersebut tak patah arang. Peristiwa ini justru menjadi ibrah sekaligus muhasabah, karena ada kezaliman lain yang marak terjadi kala itu, yakni mencurangi timbangan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Warga Keberatan Waria Disholati Jenazahnya

Mengutip nu.or.id, Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin menceritakan seorang ulama yang menunaikan tanggung jawab fardhu kifayahnya atas jenazah manusia. Ulama tersebut bersama sejumlah jamaah menshalatkan waria yang meninggal dunia.

Sampai pada tanggung jawab yang hidup atas yang meninggal tidak ada masalah. Tetapi masalahnya yang meninggal adalah seorang waria (mukhannats). Respons masyarakat terbelah. Shalat jenazah ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Peristiwa ini menjadi perbincangan di warung-warung kecil yang menjadi tempat masyarakat berkumpul.

Sebagian masyarakat mendukung ulama dan sebagian jamaah atas shalat jenazah waria tersebut karena shalat jenazah memang kewajiban orang yang hidup atas orang yang sudah meninggal. Tetapi sebagian masyarakat lainnya mencibir ulama tersebut karena status waria mendapat stigma dari masyarakat.

“Dia (waria) itu kan fasik durjana,” kata sebagian tetangganya yang mencibir.

Ulama itu tidak merespons. Tetapi sebagian masyarakat yang tidak setuju atas shalat jenazah waria tersebut terus mengulangi keberatannya dan terus memperbincangkan masalah shalat jenazah waria tersebut.

 

3 dari 3 halaman

Ulama Bandingkan antara Kezaliman Curangi Timbangan

Ulama tersebut kemudian angkat bicara. Ia merasa perlu untuk mendudukan perkara secara jelas dan proporsional di tengah masyarakat. Ia merasa perlu memberikan penjelasan untuk mengedukasi masyarakat.

“Kalian bisa berdamai dengan orang-orang yang curang dalam timbangan memiliki dua versi untuk mengambil dan menerima. Tetapi ini (ulama itu menyebutkan jenazah waria) kefasikannya menyangkut dirinya dan Allah. Sedangkan orang-orang yang curang dalam timbangan berbuat zalim terhadap manusia. Penerimaan maaf atas kezaliman ini agak jauh dari kenyataan. Sedangkan kejujuran dalam urusan timbangan ini masalah berat,” kata ulama tersebut.

Ulama tersebut menjawab demikian di tengah penyakit sosial yang melanda masyarakat di zamannya, yaitu kecurangan dalam timbangan seperti yang digambarkan dalam Surat Al-Muthafifin.

Ulama tersebut mengingatkan masyarakat agar dapat berpikir secara jernih bahwa shalat jenazah yang dilakukannya atas waria merupakan kewajibannya sebagai orang yang hidup terlepas dari dosa individu yang dilakukan jenazah waria tersebut yang menjadi hak Allah. Hak allah dibangun di atas dasar maaf-Nya.

Adapun masyarakat yang mencibir dan menggunjing ulama tersebut menganggap kecurangan dalam timbangan yang sedang mewabah di zaman itu sebagai sesuatu yang lazim. Sementara kecurangan dalam timbangan merupakan tindakan kezaliman terhadap manusia yang sulit dimaafkan karena melibatkan ridha orang lain. Masyarakat mencibir shalat jenazah waria. Sementara mereka diam saja atas kezaliman yang terjadi di samping mereka.

Kisah ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, (Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H), juz II, halaman 89. Kisah ini diangkat oleh Imam Al-Ghazali ketika menjelaskan keutamaan keadilan dan tindakan menjauhi kezaliman dalam mata pencarian dan penghidupan. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo