Sukses

Top 3 Islami: Hukum Puasa Asyura Tanpa Berpuasa Tasu'a, Bolehkah?

Dengan berbagai alasan, banyak di antara umat Islam yang tidak berpuasa Tasu'a. Lantas, bolehkah seseorang tetap berpuasa Asyura, bagaimana hukumnya?

Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam baru saja melewati salah satu momen istimewa, yakni 10 Muharram. Hari kesepuluh bulan mulia ini disebut sebagai hari Asyura.

Berbagai peristiwa penting terjadi pada 10 Muharram. Pada hari istimewa ini, umat Islam disunnahkan berpuasa. Selanjutnya, disebut puasa Asyura.

Umat terdahulu sebelum umat Islam juga melakukan puasa pada 10 hari Asyura. Salah satunya adalah kaum Yahudi.

Untuk membedakan, maka Nabi SAW menganjurkan agar umat Islam berpuasa sehari sebelum Asyura, yakni puasa Tasu'a pada 9 Muharram.

Namun, dengan berbagai alasan, banyak di antara umat Islam yang tidak berpuasa Tasu'a. Lantas, bolehkah seseorang tetap berpuasa Asyura, bagaimana hukumnya?

Rupanya banyak yang mencari hukum puasa Asyura tanpa Tasu'a ini. Soal ini KH Yahya Zainul Maarif atau Buya Yahya menjelaskan dengan gamblang.

Selengkapnya, mari simak Top 3 Islami.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

1. Hukum Puasa Asyura 10 Muharram tapi Tidak Puasa Tasu'a Penjelasan Buya Yahya

Seorang jemaah Al Bahjah bertanya kepada KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya. Bagaimana hukum hanya berpuasa di hari Asyura (10 Muharram) tapi tidak berpuasa di hari Tasu’a (9 Muharram)?

Buya Yahya menjelaskan, puasa yang paling utama di bulan Muharram adalah puasa Asyura yang dikerjakan pada 10 Muharram. Keutamaan menjalankan puasa ini adalah dapat menjadi pelebur dosa setahun yang lalu.

Sebelum puasa Asyura, umat Islam juga disunnahkan melaksanakan puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram. Puasa ini dilakukan agar berbeda dari puasanya orang Yahudi pada 10 Muharram, tepat di hari Asyura.

Buya Yahya mengutip suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Kalau aku hidup tahun depan, aku akan puasa tanggal 9 (Muharram).” Namun, nabi tidak sempat berpuasa tanggal 9 karena nabi sudah wafat waktu itu.

“Tapi, nabi pernah berkeinginan untuk berpuasa tanggal 9 (Muharram), maka ulama mengatakan sunnah memberikan mukaddimah tanggal 9 untuk kesempurnaan tanggal 10 (Muharram) nanti. Jadi, agar berbeda dengan orang Yahudi karena orang Yahudi dahulu berpuasa di tanggal 10,” jelasnya dikutip dari YouTube Buya Yahya, Kamis (27/7/2023).

Selengkapnya baca di sini

3 dari 4 halaman

2. 4 Kisah Karomah Mbah Moen: Bertemu Nabi Khidir hingga Mobil Berjalan Tanpa Bahan Bakar

KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen adalah seorang ulama kharismatik Indonesia. Semasa hidupnya, ia menjadi seorang sesepuh di organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat dihormati oleh kalangan Nahdliyin.

Mbah Moen lahir di Karang Mangu Sarang, 28 Oktober 1928 dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Dari jalur silsilah kakek, ia merupakan keturunan Sunan Giri.

Mbah Moen dikenal sebagai ulama dan guru yang alim. Ia telah banyak melahirkan santri yang melanjutkan jejak perjuangannya di jalan dakwah Islam. Salah satu santri yang tersohor adalah KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha.

Ulama yang juga politikus ini wafat di Makkah, Arab Saudi, pada Selasa, 6 Agustus 2019 pagi saat merayakan ibadah haji. Ia tutup usia dalam umur 90 tahun. 

Baru-baru ini ada kabar dari Makkah bahwa jenazah Mbah Moen utuh setelah dimakamkan selama empat tahun lamanya di pemakaman Ma’la.

Mbah Moen bukanlah orang biasa. Ia adalah seorang wali Allah. Banyak kisah-kisah karomah yang dapat dipetik hikmahnya. Mengutip Laduni.id, berikut adalah empat kisah karomah Mbah Moen.

Selengkapnya baca di sini

4 dari 4 halaman

3. Teks Khutbah Jumat: Janji Kita kepada Allah Sebelum Terlahir ke Dunia

Jauh sebelum dilahirkan ke dunia manusia sudah terikat perjanjian dengan Allah dan tidak ada satu rasul pun kecuali mengingatkan janji itu, sebagaimana dibenarkan dalam Al-Qur'an. 

“Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerumu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia (Allah) telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang yang beriman,” (QS. Al Hadid: 8).

Lalu kapan perjanjian manusia dengan Allah itu dilakukan? Setelah moyang manusia, Nabi Adam AS diciptakan. Demikian yang tersurat dalam hadis riwayat Abu Hurairah.

لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ

"Sewaktu menciptakan Nabi Adam, Allah mengusap punggungnya. Maka berjatuhanlah dari punggungnya setiap jiwa keturunan yang akan diciptakan Allah dari Adam hingga hari Kiamat. Kemudian, di antara kedua mata setiap manusia dari keturunannya Allah menjadikan cahaya yang bersinar. Selanjutnya, mereka disodorkan kepadanya. Adam pun bertanya, “Wahai Tuhan, siapakah mereka?” Allah menjawab, “Mereka adalah keturunanmu,” (HR. Al-Tirmidzi).

Berikut merupakan teks khutbah jumat dengan judul “Mengingat Janji Kita pada Allah sebelum Terlahir ke Dunia”. Semoga bermanfaat!

Selengkapnya baca di sini