Sukses

Perang Khaibar dan Kisah Tumbangnya Benteng-Benteng Kokoh Koalisi Yahudi di Bulan Muharram

Perang Khaibar juga menjadi perang terbesar di zaman Nabi SAW dalam arti melibatkan kekuatan dan pengerahan sumber daya terbesar dibanding perang-perang sebelumnya, dalam melawan pasukan Yahudi

Liputan6.com, Jakarta - Pada masa Nabi Muhammad SAW, tercatat umat Islam berperang empat kali melawan kaum Yahudi. Seluruhnya berujung kekalahan Yahudi.

Tiga pertempuran pertama adalah perang Bani Qainuqa’ (623M/2 H), perang Bani Nadzir (625 M/4 H), perang Bani Quraidzah (627 M/5 H), dan yang keempat adalah Perang Khaibar (629 M/7 H).

Perang Khaibar juga menjadi perang terbesar di zaman Nabi SAW dalam arti melibatkan kekuatan dan pengerahan sumber daya terbesar dibanding perang-perang sebelumnya.

Perang Khaibar adalah akumulasi dendam kesumat Yahudi terhadap Muslim yang bertumpuk lantaran tiga kekalahan sebelumnya, yang sekaligus mengebiri kekuatan politik mereka di jazirah Arab. 

Yahudi tak mempunyai cukup kekuatan untuk menggempur kaum Muslimin. Namun mereka cerdik. Mereka mampu menyatukan musuh-musuh Nabi Muhammad dari berbagai kabilah yang sangat kuat. Koalisi itu tentu saja dipimpin oleh kabilah-kabilah Yahudi terkuat.

Khaibar sendiri merupakan sebuah kawasan Oasis Khaibar yang subur. Di sinilah populasi terbesar Yahudi di Jazirah Arab tinggal. Di sini pula terdapat sejumlah benteng kuat tak tertembus yang membuat kaum Yahudi begitu percaya diri.

Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri mengatakan, benteng-benteng di kota Khaibar terdiri dari dua lapis, setiap lapis terdiri dari beberapa benteng. Lapis pertama terdiri dari lima benteng; (1) Benteng Ni’am; (2) benteng Sha’b bin Mu’az; (3) benteng Zubair; (4) benteng Ubay; dan (5) Nizar. Sedangkan lapis kedua terdiri dari tiga benteng; (1) benteng Qomus; (2) benteng Watih; dan (3) benteng Salalim. (Sumber: Wikipedia)

Karena itu ia menjadi teritori paling aman bagi umat Yahudi untuk menyusun makar, memproduksi kebencian, dan pelampiasan balas dendam terhadap umat Islam. Dendam itu merupakan akumulasi dari tiga peperangan dengan umat Islam yang disebut di awal yang melibatkan tiga suku Yahudi, Qainuqa, Quraidzah, dan Nadzir.

Pertempuran Khaibar, terjadi pada tahun 7 Hijriyah, bulan Muharram, atau 629 Masehi. Pasukan Islam berkekuatan 1.400-1600 orang. Sementara, pasukan koalisi Yahudi berjumlah lebih dari 10 ribu personel. 

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

1.400 Muslim Melawan 10 Ribu Pasukan Yahudi

Mengutip ulasan Ustadz Sunatullah di NU Online, Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menceritakan, dalam perang ini Rasulullah saw berangkat bersama seribu empat ratus orang prajurit yang terdiri dari pasukan infantri dan kavaleri. Ketika tiba di Khaibar, Rasulullah menyeru para sahabat, “Berhentilah kalian!”

Lalu, Rasulullah berdoa, “Wahai Allah! Tuhan segala langit dan semua yang dinaunginya; Tuhan segala bumi dan semua yang dipikulnya; Tuhan segala setan dan semua yang disesatkannya; Tuhan segala angin dan semua yang diembuskannya. Sesungguhnya kami meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan semua yang ada di dalamnya. Dan, kami berlindung kepada-Mu dari keburukan kampung ini, keburukan penduduknya, dan keburukan semua yang ada di dalamnya.” “Lanjutkan langkah kalian,” serunya Nabi Muhammad dengan menyebut nama Allah!

Menurut al-Buthi, setiap kali memerangi suatu kaum, Rasulullah tidak pernah menyerang kecuali menunggu pagi datang. Jika mendengar azan, ia akan menahan serangan, dan ketika sudah tidak mendengarnya, ia akan menyerang.

"Oleh karena itu, Rasulullah saat itu bermalam di perbatasan wilayah Khaibar sebelum kemudian memasuki kota tersebut. Pagi harinya, Rasulullah melihat para pekerja Khaibar berangkat ke tanah pertanian mereka masing-masing sambil membawa peralatan pertanian mereka," tulis Sunatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan, dikutip Minggu (30/7/2023).

Ketika melihat Rasulullah, mereka berteriak, “Muhammad dan pasukannya!” dan langsung melarikan diri. Mereka khawatir Rasulullah dan semua umat Islam menghabisi para petani Khaibar. Padahal, Rasulullah tidak akan memerangi suatu kaum jika mereka tidak memerangi ajaran Islam.

Melihat reaksi penduduk Khaibar itu, Rasulullah berseru kepada para sahabat,

اللَّهُ أَكْبَرُ، خَرِبَتْ خَيْبَرُ، إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ

Artinya, “Allah Mahabesar! Hancurlah Khaibar! Jika kita masuk ke wilayah mereka, pagi ini pasti akan menjadi pagi yang buruk bagi orang-orang yang telah diberi peringatan itu.” (Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Bairut, Darul Fikr: 2019], halaman 261-262).

 

3 dari 4 halaman

Pimpinan Yahudi Tewas dan Tumbangnya Benteng Khaibar

Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri mengatakan, benteng-benteng di kota Khaibar terdiri dari dua lapis, setiap lapis terdiri dari beberapa benteng. Lapis pertama terdiri dari lima benteng; (1) Benteng Ni’am; (2) benteng Sha’b bin Mu’az; (3) benteng Zubair; (4) benteng Ubay; dan (5) Nizar. Sedangkan lapis kedua terdiri dari tiga benteng; (1) benteng Qomus; (2) benteng Watih; dan (3) benteng Salalim. Selain benteng-benteng tersebut, masih banyak benteng-benteng kecil yang juga menjadi pertahanan pasukan Khaibar, hanya saja tak sekuat benteng telah disebutkan.

Melihat banyaknya benteng pertahanan pasukan Khaibar, Rasulullah dan para sahabat menyepakati untuk menyerang benteng Na’im terlebih dahulu, yang merupakan pusat pertahanan pasukan Khaibar Yahudi paling utama, di samping tempatnya sangat kuat karena dihuni oleh beberapa pasukan kuat, juga  terletak di tempat yang sangat strategis. Benteng ini diprakarsai oleh seorang pejuang Yahudi; Marhab, yang kekuatannya menandingi puluhan orang.

Menantu Rasulullah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memimpin pasukan menuju benteng tersebut, lalu orang-orang Yahudi diajak masuk Islam. Namun mereka menolak, bahkan tokoh mereka; Marhab keluar untuk menantang pasukan Islam.

Tantangan tersebut langsung mendapat respons dari Sahabat Rasulullah yang bernama, ‘Ami ‘Amir, namun akhirnya ia terbunuh oleh Marhab dan gugur sebagai syahid. Kemudian Sayyidina Ali maju untuk adu duel dengan Marhab, seraya berkata:

أَنا الَّذِي سَمَتْنِي أُمِّي حَيْدَرَه *** كَلَيْثِ غَابَاتٍ كَرَيهِ المَنظَرَه

Artinya, “Akulah yang diberi nama Haidar (singa) oleh ibuku *** bagaikan singa hutan bertampang seram” (al-Mubarakfuri, ar-Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf: 2007], halaman 370-371).

Selain sebagai salah satu panglima pada perang Khaibar, Sayyidina Ali juga salah satu andalan umat Islam dalam setiap peperangan. Kecerdikan dan kepiawaiannya sangat diakui oleh kawan dan lawan. Ternyata, dengan sekali gebrakan Sayyidina Ali dapat menghantam kepala Marhab hingga tewas seketika itu juga.

Setelah itu, sifat marah orang-orang Yahudi di Khaibar semakin memanas disebabkan terbunuhnya komandan mereka. Begitu juga dengan umat Islam, kemenangan Sayyidina Ali melawan Marhab, menjadi salah satu semangat baru yang semakin menggelora dalam jiwa-jiwa pasukan Islam.

Setelah komando Yahudi berhasil ditaklukkan, terjadilah pertempuran sengit. Kaum muslimin mendapat perlawanan berat selama beberapa hari. Namun beberapa tokoh dan pembesar Yahudi berhasil dibunuh sehingga mental perlawanan pasukan musuh semakin lemah.

Keadaan itu tidak disia-siakan oleh umat Islam. Sebagian dari mereka menyelinap masuk ke benteng as-Sha’b untuk mengepung Yahudi Khaibar yang ada di dalamnya. Dari upaya ini, umat Islam berhasil menduduki benteng tersebut.

Selanjutnya, pasukan kaum muslimin menuju benteng az-Zubair yang tidak kalah kokohnya dari benteng pertama. Di dalamnya terdapat tiga koalisi hebat, yaitu (1) benteng Qomus; (2) benteng Watih; dan (3) benteng Salalim.

Kaum muslimin melakukan penyerbuan di bawah komando Khabbab bin Munzir. Mereka mengepungnya selama tiga hari hingga mereka sangat lelah dan bekal mereka tinggal sedikit. Kedua pasukan sepakat untuk berhenti istirahat pada malam harinya.

 

4 dari 4 halaman

Doa Rasulullah SAW

Melihat peperangan yang tak kunjung selesai, pada malam hari Rasulullah berdoa secara khusus agar benteng ini dapat ditundukkan. Berikut teks doanya:

اللّهُمّ إنّك قَدْ عَرَفْت حَالَهُمْ وَأَنْ لَيْسَتْ بِهِمْ قُوّةٌ وَأَنْ لَيْسَ بِيَدِي شَيْءٌ أُعْطِيهِمْ إيّاهُ فَافْتَحْ عَلَيْهِمْ أَعْظَمَ حُصُونِهَا عَنْهُمْ غِنَاءً وَأَكْثَرَهَا طَعَامًا وَوَدَكًا

Artinya, “Wahai Allah! Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui keadaan mereka, tidak ada kekuatan pada mereka, dan tidak ada dayaku, yang dapat aku berikan kepada mereka. Maka tundukkanlah benteng yang sangat kokoh ini, di dalamnya ada kecukupan serta makanan dan minyak lemak yang banyak.” (Abu ar-Rabi’ al-Andalusi, al-Iktifa min Maghazi Rasulillah wal Khulafa, [Bairut, Darun Nasyr: 2000], juz II, halaman 160).

Keesokan harinya, kaum muslimin menyerbu benteng tersebut dan akhirnya berhasil menundukkan mereka sebelum Maghrib. Dari penyerangan yang berujung kemenangan itu, pasukan umat Islam mendapatkan banyak harta rampasan (ghanimah). Namun, usaha umat Islam dalam menaklukkan benteng ash-Sha’b tidak membuat pasukan musuh jera, mereka justru melarikan diri dan berpindah pada benteng Zubair.

Melihat mereka yang lari tunggang langgang, umat Islam tidak membiarkan mereka hilang jejak dengan sendirinya. Umat Islam kembali menyerbu mereka dan mengepungnya selama tiga hari, setelah itu, keluarlah orang Yahudi dan pertempuran sengit kembali terjadi, hingga akhirnya benteng itu dapat ditundukkan dan orang Yahudi Khaibar menyerah.

Setelah penyerahan itu, orang-orang Khaibar memohon kepada Rasulullah agar mereka tetap tinggal di Khaibar untuk melakukan kegiatan pertanian seperti biasa. Mereka berdalih bahwa mereka paling tahu seluk-beluk tanah Khaibar yang telah lama mereka diami.

Sebagai imbalan atas itu, pihak Muslim berhak mendapatkan bagian dari hasil bumi Khaibar. Rasulullah menerima tawaran itu dan bersedia membuat perjanjian damai dengan musuh.

Tim Rembulan