Sukses

Bolehkah 'Cebok' Menggunakan Tisu, Apa Hukumnya?

'Cebok' dengan tisu atau cara membersihkan diri setelah buang air besar dalam Islam disebut sebagai istinja

Liputan6.com, Jakarta - 'Cebok' atau membersihkan diri setelah buang air besar dalam Islam disebut sebagai istinja. Istinja adalah bagian penting dalam menjaga kebersihan dan kesucian tubuh, dan hal ini merupakan bagian penting dalam ajaran Islam.

Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat.

Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinja ini.

Dahulu, orang-orang selalu menggunakan air. Namun, kekinian, ada sebagian yang sudah menggunakan tisu atau material lainnya.

Pertanyaannya, bolehkah istinja menggunakan tisu, apa hukumnya?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Islam Sangat Memperhatikan Kebersihan

Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak dipergunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tisu. Banyak hotel yang tidak menyediakan air toiletnya, namun yang tersedia hanya tisu. Dengan asumsi tisu lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering.

An-nadhafatu minal iman, kebersihan merupakan sebagian dari iman. Atau at-thuhuru syartul iman, kesucian merupakan separoh dari keimanan. Namun demikian, seringkali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian.

Mengutip nu.or.id, salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul).

Shalat tidak sah tanpa istinja’ terlebih dahulu, selain wudhu kalau dalam keadaan hadats kecil, dan mandi jika dalam kondisi hadats besar.

 

3 dari 4 halaman

Istinja Boleh dengan Batu

Meski istinja pada hakikatnya menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.

Berbeda dengan wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan tayamum dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air.

Diperbolehkannya istinja dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan dan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT, dalam hal ini, shalat.

Seperti disebutkan di atas bahwa shalat tanpa istinja lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan. Kurang lebih 85% dan sisanya daratan.

Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tetapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dilakukan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus.

 

4 dari 4 halaman

Istinja dengan Batu Termasuk Tisu

Dengan diperkenankannya istinja dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.

Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.

Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori banda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar, dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja’.

Dengan demikian, hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam illat (alasan terjadinya hukum).

Seperti diterangkan di atas bahwa istinja dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Tisu bukan air, bukan pula hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja?

Merujuk dari beberapa literatur madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain, tisu dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan bahwa tisu dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Yaitu benda benda padat (jamid), tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap mulia dan berharga), karena tidak terdapat tulisan di dalamnya.

Jika terdapat tulisan dalam tisu (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah, kalau istinja’ memakai hajar hakiki atau syar’i disyaratkan tiga kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih. Wallahu A'lam.

Penulis: Nugroho Purbo