Liputan6.com, Jakarta - Tanah lapang milik Ahmadiyah di Hadeeqtul Mahdi, Oakland Farm, Inggris disulap menjadi lokasi Jalsah Salanah 2023. Acara itu digelar Jumat-Minggu, 28-30 Juli 2023. Tenda-tenda didirikan, termasuk dua berukuran raksasa. Satu untuk jemaat pria, lainnya khusus untuk perempuan
Jalsah salanah adalah pertemuan akbar tahunan komunitas Ahmadiyah. Lebih dari 40 ribu jemaat dari sekitar 100 negara hadir. Peserta membludak karena ini adalah acara pertama usai pandemi COVID-19.
Advertisement
Baca Juga
Hari pertama, lalu lintas ke lokasi acara macet berat. Tak hanya dipicu ribuan kendaraan yang mengarah ke titik yang sama. Perbaikan jalan bikin situasi makin runyam. Perjalanan yang biasanya ditempuh 40 menit bisa jadi lebih dari 5 jam. Daripada terjebak, sejumlah peserta memilih jalan kaki sekitar 2-5 kilometer.
Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Maulana Mirajudin Sahid menegaskan, jalsah salanah bukan pengganti umrah apalagi haji.
“Umrah dan haji itu ke Mekah. Itu tak tergantikan. Jalsah salanah adalah momentum silaturahmi yang menunjukkan ukhuwah Islamiyah muslim dari seluruh dunia,” kata dia kepada Liputan6.com.
Usai salat Jumat, upacara pengibaran bendera negara-negara peserta digelar. Itu menandakan jalsah salanah 2023 resmi dimulai.
Dalam pidato pembukaan, Khalifah Ahmadiyah V, Mirza Masroor Ahmad mengingatkan jemaat Ahmadiyah untuk menjalani kehidupan sederhana, rendah hati, dan menjauhi amarah yang dapat melahirkan kesombongan. “Kesederhanaan adalah cabang dari kekayaan yang sejati,” kata dia.
Apa saja yang dilakukan jemaat Ahmadiyah saat jalsah salanah? Di sana ada ceramah-ceramah mirip pengajian, pameran, sambutan dari para tamu undangan, makan bersama, juga ibadah salat berjamaah. Yang membedakan adalah acara baiat yang digelar jelang penghujung acara.
Semangat para peserta tak lantas redup, meski hujan beberapa kali mengguyur lokasi, terutama di hari kedua dan ketiga. Tak semua lahan ditutupi lembaran alas dari bahan logam. Tanah yang padat jadi lumpur.
Sejumlah anggota Ahmadiyah yang ikut serta memilih pulang pergi dari rumah atau hotel. Lainnya menginap dalam tenda-tenda yang disediakan.
Nur Sayidatunnisa, salah satunya. Pengikut Ahmadiyah itu sengaja menginap di tenda peserta. Alasannya, agar bisa ikut salat tahajud bersama yang digelar setiap pukul 03.00 waktu setempat.
Ia mengaku mengambil cuti panjang untuk ikut jalsah salanah. “Saya beruntung bekerja di sebuah universitas yang sangat toleran. Mereka tahu saya Ahmadiyah dan saya tak perlu menyembunyikan diri,” kata Nur.
Simak Video Pilihan Ini:
Ribuan Relawan Diturunkan
Tidak mudah mengatur dan menyediakan kebutuhan untuk lebih dari 40 ribu peserta. Untuk makan, salah satunya, penyelenggara memanggang 10 ribu roti gandum pipih per jam. Juga tersedia nasi biryani, pasta, kari ayam atau kambing, serta daal berbahan kacang lentil.
Buah-buahan, biskuit, keripik kentang, dan aneka minuman disajikan sebagai pendamping.
Menu tersebut dihidangkan gratis, untuk semua peserta, tanpa mengenal strata, peserta biasa maupun tamu VIP. Para relawan di tenda-tenda makan terus berkeliling, memastikan semua orang mendapatkan cukup makan. “Ada yang bisa saya bantu? Ada lagi yang Anda inginkan?,” tanya mereka.
Acara jalsah salanah melibatkan ribuan relawan, termasuk pengemudi, petugas kebersihan, penjaga toilet, pengamanan, penegak disiplin, dan mereka yang ditempatkan di tenda makan.
Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun ikut serta mengedarkan gelas kertas untuk diisi air minum. Di depan tenda khusus perempuan, seorang gadis kecil memungut tas plastik pembungkus sepatu yang berserakan dan membuangnya ke tempat sampah.
Para relawan sama sekali tidak dibayar. Mereka berasal dari berbagai profesi. Ada guru sekolah hingga yang punya jabatan di tempat kerjanya. Abdul, relawan pengemudi, mengaku sehari-hari bekerja di bandara. “Pekerjaan saya terkait penerbangan,” kata dia.
Apapun tugas mereka di jalsah salanah, pesan khusus sang khalifah harus dipatuhi: mereka harus tersenyum saat melayani orang lain.
Tak terkecuali para pengawal atau bodyguard Khalifah Ahmadiyah V, Mirza Masroor Ahmad. Mereka sangat disiplin saat melakukan buka tutup jalan, siapapun tak boleh lewat. Namun, wajah sangar seketika melembut ketika membuka portal-portal dari besi. “Maafkan, kami membuat Anda menunggu. Silakan lewat,” ucap salah satunya.
Advertisement
Pengalaman Jadi Tamu Non-Ahmadiyah
Selain jemaat Ahmadiyah, sejumlah orang datang sebagai pengamat. Tahun ini adalah kali pertamanya sejumlah jurnalis asal Indonesia diundang.
Harus diakui, tak mudah melakukan tugas peliputan di acara jalsah salanah 2023. Hambatan utama adalah soal komunikasi. Sinyal ponsel drop. Menggunakan WhatsApp saja tidak bisa, apalagi mengirim foto atau video. Akibatnya, koordinasi dengan bagian pers juga terhambat, banyak acara yang terlewatkan.
Mengambil foto di lokasi khusus perempuan dilarang keras, menyangkut privasi. Alasan lain, demi keamanan. Banyak dari mereka datang dari negara di mana persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah masih terjadi.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah Taslim Syahlan masuk dalam daftar tamu undangan.
“Sebagai non-ahmadiyah, saya menyaksikan dua hal. Pertama bahwa saudara-saudara kami yang Ahmadiyah jelas sebagai sebagai muslim. Orang-orang dari 100 negara sama-sama bersyahadat. Dan, syahadat itu persis dengan yang saya ucapkan, Alquran pun sama dengan yang biasa saya baca,” kata dia. Hal kedua, kata Taslim, adalah kemanusiaan yang ditunjukkan para pengikut Ahmadiyah. Mereka ramah dan murah hati.
“Saya menyaksikan, tidak ada yang meleset dari Al Hujurat Ayat 10. Mereka dari segala bangsa tapi bisa membangun persaudaraan yang keren,” kata dia. “Di samping itu, narasumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan muslim, juga non-muslim. Itu bukti bahwa Ahmadiyah tidak eksklusif.”
Taslim mengaku beruntung bisa berjumpa atau mulaqat dua kali dengan khalifah Ahmadiyah. Kali pertama sebagai tamu undangan, yang kedua murni tak disengaja pada Rabu sore, 2 Agustus 2023.
Menurut dia, sang khalifah menyampaikan banyak hal, salah satunya adalah harapan agar masyarakat Indonesia mengenal Ahmadiyah. “Setidaknya 70 persen masyarakat Indonesia mengenal Ahmadiyah. Tidak diartikan harus bergabung, yang penting mereka menerima orang Ahmadiyah sebagai muslim,” kata Taslim menirukan pesan tersebut.
Ahmad Najib Burhani, profesor riset di Badan Risen dan Inovasi Nasional (BRIN) mengaku, ini bukan kali pertamanya ia hadir dalam jalsah salanah. Tiga kali di Singapura, sekali di Qadian pada 2016, dan berkali-kali di Indonesia.
Yang paling mengesankan, kata dia, adalah di Qadian, tempat lahir pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. “Seperti masuk ke mesin waktu, menyaksikan secara dekat lokasi bersejarah lahirnya Ahmadiyah dan Ghulam Ahmad,” kata akademisi Muhammadiyah itu.