Liputan6.com, Jakarta - Hukum asal dari akad muamalah itu pada dasarnya adalah boleh, dengan catatan selagi tidak ada unsur-unsur yang diharamkan di dalamnya. Apa pun bentuk muamalah itu.
Terkait dengan permainan atau gim daring (online game) atau yang secara populer disebut game online, hukum asal dari permainan ini juga adalah boleh, selagi tidak ada illat (alasan dasar) keharaman yang menjadikan game online itu berubah menjadi alat malahi. Apa itu alat malahi?
Advertisement
Baca Juga
Alat malahi sering juga disebut dengan istilah alat al-lahwi, yaitu alat yang ditujukan semata untuk bersenda-gurau sehingga melalaikan penggunanya dari berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala.
Maksud dari lalai berdzikir ini adalah lalai dari sholat, sebab Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, yang ditafsiri oleh Syekh Abu Zahrah dalam kitab Zahratu al-Tafasir sebagai berikut:
“Dan jadilah kalian termasuk orang-orang yang bersujud! Maksudnya: teruslah kamu bersikap khudlu’ (merendahkan diri) kepada Tuhan Semesta Alam! Dan sujud di sini bisa kita tafsirkan dengan makna merendahkan diri secara mutlak kepada Allah SWT. Sikap rendah diri dihadapan Allah, dan mengingat (berdzikir) semata karena Allah merupakan sarana tenangnya hati. Dan Allah SWT telah berfirman: Ingatlah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah SWT adalah sumber ketenangan hati. Atau kita juga bisa menafsirkan bahwa sesungguhnya yang dimaksud jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud itu adalah sujud di dalam shalat. Oleh karenanya, makna dari perintah itu adalah seolah jadilah kamu terus menerus dalam shalatmu, karena shalat merupakan solusi bagi segala kesusahan, hilangnya duka cita, dan jalan keluar dari keprihatinan.” (Zahratu al-Tafasir, terbitan Dar al-Fikr al-Araby, juz 8, halaman 4118).
Saksikan Video Pilihan ini:
Hukum Uang dari Bermain Game Online
Syekh Abu Zahra menjelaskan bahwa penafsiran kedua ini dilandasi pada sebuah keterangan atsar, yang menyatakan:
كان النبي - صلى الله عليه وسلم - إذا حزبه أمر فزع إلى الصلاة
“Adalah Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bilamana beliau sedang menghadapi suatu perkara, maka beliau bersegera melakukan shalat” (Zahratu al-Tafasir, juz 8, halaman 4118).
Alhasil, salah satu makna dzikir adalah shalat, sehingga pengertian dari alat al-lahwi sebagai yang diharamkan karena dapat melalaikan dari dzikir, dalam praktiknya adalah melalaikan dari shalat. Dengan demikian, merunut pemikiran ini, maka status hukum “fisik aplikasi” game online bisa disebut sebagai alat al-malahi sehingga haram menggunakannya atau mengunduhnya, adalah bila karena aplikasi itu, maka user (penggunanya) menjadi lalai dari shalat. Jika tidak melalaikan, maka bukan termasuk alat malahi. Jika tidak menjadi alat malahi, maka termasuk alat yang bersifat mubah sehingga dapat dimanfaatkan secara mubah (li manfaatin mubahah).
Karena fisik aplikasi merupakan alat dengan manfaat yang mubah, maka status fisik game online di tangan user (pengguna aplikasi) adalah merupakan barang pinjaman dengan akad ‘ariyah. Pihak penyedia/pengembang aplikasi (provider) bisa menariknya sewaktu-waktu dari tangan user bila hal itu diperlukannya.
Selanjutnya pemanfaatan barang pinjaman (‘ariyah) merupakan yang diperbolehkan bila diizinkan oleh pihak pemiliknya. Bila peminjaman itu disertai dengan penyerahan biaya sewa langsung dari pihak penyewa kepada pemilik barang (aplikasi)–misalnya dengan basis kuota internet – maka, kuota itu menempati kedudukan sebagai ujratu al-kali’ (upah sewa) dalam akad fiqihnya dan hukumnya adalah halal bagi penyedia aplikasi.
Namun, dalam aplikasi game online, upah yang diterima oleh pihak provider adalah berasal dari rating kunjungan user dan jumlah unduhan aplikasinya. Sementara pihak user menyerahkan kuota internet itu kepada penyedia server aplikasi, yaitu Google play store. Alhasil, harta yang diterima pengembang aplikasi adalah berasal dari Google dan merupakan ujrah baginya yang berstatus halal.
Bilamana provider memberikan koin kepada user yang bisa diterimanya dalam bentuk rupiah (baca: dimiliki dalam bentuk harta fisik!), maka status pemberian koin ini dapat dibaca sebagai 2 hal, yaitu:
- Koin itu merupakan bonus, dengan catatan bila terdapat misi yang dipersyaratkan menerimanya oleh provider. Misalnya setelah user membaca sekian buku yang ditampilkan oleh provider, maka dia akan mendapatkan sekian koin. Bila polanya semacam ini, maka tidak diragukan lagi bahwa relasi akad antara provider dengan user, adalah akad ju’alah (sayembara; koin diberikan berbanding lurus dengan tingkat capaian). Oleh karenanya, status koin pemberian provider terhadap user, merupakan ju’lu (bonus), sehingga halal menerimanya.
- Koin itu merupakan hibah atau hadiah bagi user. Status hibah dan hadiah ini berlaku bilamana tidak ada ketetapan yang dipersyaratkan oleh provider, misalnya: baik kalah atau menang dalam memainkan game sepakbola, pihak user akan mendapatkan bonus dari provider. Oleh karenanya, pemberian semacam termasuk bagian dari hadiah.
Advertisement