Liputan6.com, Jakarta - Mukjizat dan karomah adalah suatu hal atau kejadian di luar logika yang Allah berikan kepada orang-orang pilihan-Nya. Semua peristiwa mukjizat atau karomah terjadi atas izin Allah SWT.Â
Mukjizat diberikan oleh Allah SWT kepada para nabi dan rasul. Tujuannya agar melemahkan musuh-musuh nabi dan rasul, juga menjawab orang-orang yang meragukan nabi dan rasul.
Contoh mukjizat adalah tongkat Nabi Musa AS yang mampu berubah menjadi ular dan membelah lautan. Kemudian Nabi Ibrahim tidak hangus saat dibakar.
Advertisement
Baca Juga
Sementara, karomah diberikan oleh Allah SWT kepada para waliyullah dengan tujuan meyakinkan syariat yang telah dibawakan dan diajarkan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kebenaran.
Banyak contoh karomah yang dimiliki oleh para wali Allah. Misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani yang mampu melihat Ka'bah secara langsung dari salah satu masjid di Jakarta. Kemudian Kiai Hasan Genggong yang mampu menolong orang di laut padahal dirinya sedang mengajar.
Dari pemaparan di atas sudah jelas kepada siapa Allah memberikan mukjizat dan karomah. Namun, terkadang ada saja orang yang menafsirkan karomah bagian dari mukjizat.
Lantas, benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini mari simak penjelasan Habib Luthfi bin Yahya.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Beda Mukjizat dan Karomah
Ulama asal Pekalongan, Habib Luthfi bin Yahya mengatakan bahwa masih banyak orang yang menafsirkan karomah itu bagian dari pecahan mukjizat, padahal tidak demikian. Kedudukan mukjizat memang di atas karomah, tapi karomah bukan pecahan mukjizat.Â
"Kalau mukjizat tidak bisa disamakan dengan karomah. Sebabnya apa? Al Mukjizah thahara min rijalin man lahul ismah min shahiri. Yang namanya mukjizat keluar dari seseorang yang telah mendapatkan maksum dari semenjak di perut ibunya. Sedangkan karomah tidak," jelas Habib Luthfi dikutip dari tayangan video pendek YouTube Iam Bung, Ahad (13/8/2023.
Mengutip NU Online Lampung, semua nabi dan rasul yang dianugerahi mukjizat memiliki genetik atau garis keturunan yang baik. Mereka sejak kecil sampai diangkat menjadi rasul juga memiliki perilaku yang baik.
Dari segi tauhid, para nabi dan rasul tidak ada yang menyembah berhala. Bahkan ketika keluarga, tetangga dan masyarakat sekitarnya menyembah berhala, mereka justru mempunyai naluri untuk menentangnya, meski mereka tidak tahu jika kelak kedepannya akan diangkat menjadi nabi dan rasul.
Berbeda lagi dengan para wali yang memiliki karomah, mereka seperti manusia biasa yang kadang salah dan berdosa, dengan latar belakangnya juga beragam. Ada yang baik, ada pula yang buruk, karena mereka tidak maksum (dijaga dari dosa) seperti para nabi dan rasul.
Advertisement