Liputan6.com, Jakarta - Di berbagai daerah, ada tradisi menabur bunga di makam saat berziarah. Di Jawa, tradisi ini disebut nyekar sehingga berziarah kerap disebut pula dengan nyekar.
Ini merupakan cara untuk menghormati, mengenang, dan merenungkan makna kehidupan dan kematian. Bunga yang dibawa biasanya ditaburkan di atas makam.
"Nyekar" adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada kunjungan ke makam atau tempat pemakaman untuk memberikan penghormatan kepada orang yang telah meninggal.
Advertisement
Tradisi ini biasanya sebagai tanda penghormatan dan mengenang orang yang telah meninggal. Ini dilakukan oleh siapa saja, dan waktu waktu tertentu, misalnya sebelum ramadhan, memasuki syawal dan hari peringatan tertentu lainnya.
Pertanyaannya, apakah menaburkan bunga di makam diperbolehkan dalam Islam, apa hukumnya?
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Nabi Muhammad SAW Meletakkan 2 Tangkai Kurma di Atas Makam
Mengutip hidayatuna.com, pertanyaan ini sudah diajukan kepada Mufti Al-Azhar:
ﻧﺮﻯ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﻦ ﺯﻭاﺭ اﻟﻘﺒﻮﺭ ﻳﻀﻌﻮﻥ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺰﻫﻮﺭ ﻭاﻟﺠﺮﻳﺪ، ﻓﻬﻞ ﻫﺬا ﻣﺸﺮﻭﻉ؟
Kami melihat banyak peziarah meletakan bunga dan daun, apakah ini disyariatkan?
Mufti Al-Azhar menjawab dengan dalil hadis tentang Nabi Muhammad SAW yang meletakkan 2 tangkai kurma di atas 2 kuburan yang sedang disiksa. Di hadis tersebut Nabi bersabda:
لعله أن يخفف عنهما ما لم تيبسا
Artinya: “Semoga keduanya diringankan siksanya selama kedua tangkai kurma belum kering.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Advertisement
Pohon akan Bertasbih Selama Basah
Selanjutnya Syekh Athiyyah Shaqr berkata:
ﺇﻥ اﻟﻐﺼﻦ ﻳﺴﺒﺢ ﻣﺎ ﺩاﻡ ﺭﻃﺒﺎ ﻓﻴﺤﺼﻞ اﻟﺘﺨﻔﻴﻒ ﺑﺒﺮﻛﺔ اﻟﺘﺴﺒﻴﺢ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﻓﻬﻮ ﻣﻄﺮﺩ ﻓﻰ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﺭﻃﻮﺑﺔ ﻣﻦ اﻷﺷﺠﺎﺭ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ
Artinya:“Pohon akan bertasbih selama basah, maka dapat meringankan karena keberkahan Tasbih tersebut. Ini berlaku untuk semua benda yang basah, baik pohon atau lainnya.” (Fatawa Al-Azhar, 8/279)
Lalu bagaimana jika air dicampur dengan mawar? Ternyata dalam Madzhab Syafi’i dihukumi makruh, kecuali jika tidak terlalu banyak maka boleh, seperti penjelasan Syekh Sulaiman Al-Jamal:
يُكْرَهُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءِ الْوَرْدِ وَلَا يَحْرُمُ ؛ لِأَنَّهُ لِغَرَضٍ شَرْعِيٍّ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ التَّعَيُّنِ وَعَدَمِهِ وَأُجِيبَ عَنْ عَدَمِ التَّحْرِيمِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ إضَاعَةُ مَالٍ بِأَنَّهُ خَلْفَنَا شَيْءٌ آخَرُ وَهُوَ إكْرَامُ الْمَيِّتِ وَحُصُولُ الرَّائِحَةِ الطَّيِّبَةِ لِلْحَاضِرِينَ وَحُضُورُ الْمَلَائِكَةِ بِسَبَبِ ذَلِكَ وَمِنْ ثَمَّ قِيلَ لَا يُكْرَهُ الْقَلِيلُ مِنْهُ ا هـ . ع ش
Artinya:“Makruh menyiram kubur dengan air mawar dan tidak haram, sebab ada tujuan yang sesuai syariat. Para ulama tidak membedakan antara menentukan air bunga mawar atau lainnya. Mengapa tidak haram meski ada bentuk penghamburan harta? Dijawab bahwa setelah kita tinggalkan kuburan, ada sesuatu yang lain, yaitu memuliakan mayit dan supaya harum bagi orang yang hadir di makam, juga untuk kehadiran malaikat. Oleh karenanya dikatakan bahwa tidak makruh jika sedikit.” (Hasyiah al-Jamal 9/314)
Dari uraian ulama Mesir ini setidaknya memberikan informasi baru pada kita bahwa kebiasaan menyiramkan bunga mawar sudah ada di negara selain Indonesia. Jadi tidak benar jika ada anggapan bahwa kembang mawar adalah kebiasaan agama sebelum Islam di Indonesia. Wallahu A'lam.
Penulis: Nugroho Purbo.