Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu terakhir, topik ular piton kembali mengemuka. Hal itu tak lepas dari temuan ular piton sepanjang 7 meter yang nyaris celakai seorang petani di Buol, Sulawesi Tengah.
Kala itu, si petani tengah memeriksa kebun. Mendadak matanya menangkap sosok ular piton melilit di pohon.
Baca Juga
Tak mau celaka karena dimangsa piton, si petani lantas memanggil rekan-rekannya. Ular itu kemudian dibunuh karena membahayakan.
Advertisement
Tentu mereka masih mengingat dengan baik tragedi ular piton memangsa petani Mamuju Tengah, beberapa tahun lampau. Piton adalah hewan melatan yang bisa menelan mangsa yang lebih besar dari tubuhnya.
Masih soal ular, beberapa waktu lalu, atraksi di semarak HUT ke-78 RI juga makan korban. Seorang pawang ulang tewas dipatuk ular King Kobra.
Nah, sampai di sini terlihat, ular bagaimanapun adalah hewan pemangsa yang bisa membahayakan manusia.
Meski berbahaya, penghobi ular ternyata justru makin bertambah. Mereka memelihara ular, karena hobi.
Pertanyaannya, bagaimana pandangan Islam soal memelihara ular layaknya hewan rumahan lainnya, apa hukum memelihara ular?
Simak Video Pilihan Ini:
Islam: Agama yang Ajarkan Kasih Sayang Sesama Makhluk
Sebelum lebih jauh soal hukum memelihara ular, agar tidak salah tangkap, alangkah lebih baik membaca ulasan mengenai Islam yang mengajarkan kasih sayang ke tiap makhluk. Terlebih ular memiliki fungsi penyeimbang ekosistem dan ekologi.
Hanya saja, kasih sayang itu tidak berarti harus memelihara makhluk atau binatang tersebut di rumah. Kasih sayang sejatinya adalah membiarkan mereka hidup di habitatnya. Manusia, tak boleh mengganggu.
Mengutip muhammadiyah.or.id, Islam sejak awal telah memproklamirkan diri sebagai agama kasih sayang yang mengajarkan umatnya “risalah menyantuni” (QS. 2: 274, 76: 9) dan “teologi berkorban” (QS. 76: 9, 3: 134) kepada dan untuk sesama. Ajaran mengenai kasih sayang ternyata tidak hanya untuk manusia, tetapi juga berlaku terhadap binatang.
Dalam kitab-kitab fikih misalnya, kita bisa menemukan satu bab tentang “berbuat baik kepada binatang” (al-rifqu bi al-hayawan) (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, II: 7901) atau bab “memberi nafkah kepada binatang” (nafaqatu al-hayawan) (Fiqh al-Sunnah, III: 565). Oleh karena itu umat Islam dilarang menyakiti binatang atau menyiksanya, bahkan juga dilarang untuk ‘sekedar’ menelantarkannya.
Al-Quran telah mengajarkan beberapa prinsip moral bagi umat Islam dalam memandang dan berperilaku terhadap binatang. Misalnya al-Quran mengajarkan bahwa binatang adalah ciptaan Allah yang dapat dijadikan bahan renungan dan sumber inspirasi bagi orang yang beriman (QS. 2: 164, 42: 29, 45: 4). Al-Quran menegaskan bahwa binatang walau bagaimanapun adalah makhluk Allah seperti halnya manusia; diciptakan oleh Allah dan berhak mendapatkan perlakuan baik dan layak.
Setelah menekankan kasih sayang, Islam kemudian membuat regulasi dan batasan (syariat) dalam hal memanfaatkan dan berinteraksi dengan binatang. Aturan umum dari regulasi tersebut misalnya Islam mengajarkan tentang halalnya binatang ternak (QS. 16: 66, 22: 28, 23: 21), dan binatang laut untuk dimakan.
Islam mendorong agar manusia memfungsikan binatang sebagai partner untuk membantunya mencari rezeki (QS. 5: 4, 16: 5-6) dan sebagai alat transportasi (QS. 40: 79). Selain itu, Islam kemudian mengharamkan binatang yang kotor (QS. 7: 157), binatang buas yang bertaring dan bercakar, dan secara spesifik al-Quran menyebut haramnya babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh dan yang ditanduk (QS. 5: 3).
Advertisement
Hewan yang Boleh dan Tidak Boleh Dipelihara
Mengenai hewan apa saja yang boleh dipelihara oleh keluarga muslim, kita dapat bersandarkan pada satu kaedah fikih,
اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ
Artinya: “Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh kecuali jika ada dalil yang melarang”.
Menurut induksi yang kami lakukan, selain hewan yang masuk ke dalam kategori di bawah ini, boleh dipelihara oleh umat Islam:
Hewan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan, seperti ular, singa dan harimau. Dalilnya adalah hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ,
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” [HR. al-Hakim]Hewan yang pada dasarnya haram untuk dimakan, seperti babi (QS. 2: 173).Hewan yang termasuk satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang. Sebaiknya hewan jenis ini tidak dipelihara di rumah, tetapi diserahkan kepada kebun binatang, suaka margasatwa atau perlindungan pemerintah (QS. 4: 83). Mengutip konsultasisyariah.com, ular termasuk binatang yang berbahaya, bahkan mematikan. Karena itulah, Nabi SAW memerintahkan kita untuk membunuhnya ketika bertemu ular (berbahaya) dan memungkinkan untuk dibunuh.
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ : الْحَيَّةُ ، وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ ، وَالْفَأْرَةُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ ، وَالْحُدَيَّا”
Lima binatang pengganggu yang boleh dibunuh di tanah halal maupun tanah haram: Ular, gagak abqa’, tikus, anjing galak, dan elang. (HR. Muslim 1198).
Makna Hadis: Tanah halal yakni daerah di luar wilayah tanah haram. Tanah Haram, daerah di Makkah atau Madinah yang memiliki hukum khusus. Di antaranya tidak boleh memburu binatang liar di sana. Gagak Abqa’: Sejenis burung gagak yang bulu punggung dan perutnya berwarna putih.
Kemudian dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau mendengar Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar,
اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ
”Bunuhlah ular-ular.”
Komentar Ibnu Umar,
فَلَبِثْتُ لَا أَتْرُكُ حَيَّةً أَرَاهَا إِلَّا قَتَلْتُهَا
“Setiap kali saya ketemu ular, tidak saya biarkan dan saya bunuh.” (HR. Bukhari 3299 dan Muslim 3233).
Ada ulama yang berpandangan anjuran membunuh ular tersebut terjadi ketika hewan melata itu membahayakan. Misalnya, masuk ke dalam rumah, atau di kawasan yang banyak digunakan orang untuk beraktivitas.
Dilarang Memelihara Hewan Berbahaya
Kemudian, dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَتْلِ الْأَسْوَدَيْنِ فِي الصَّلَاةِ : الْحَيَّةُ ، وَالْعَقْرَبُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua binatang hitam ketika shalat: ular dan kala. (HR. Turmudzi 390 dengan derajat shahih).
Kita simak semua hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh ular. Dan tentu saja, perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perintah Allah. Karena itu, mentaati beliau, sejatinya adalah mentaati Allah,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
”Siapa yang mentaati Rasul, berarti dia mentaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80).
Jika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk membunuh ular, bagaimana mungkin seorang muslim justru malah merawatnya. Karena itulah, memahami hadis di atas, para ulama menegaskan haramnya memelihara binatang yang disyariatkan untuk dibunuh.
Az-Zamakhsari – ulama Syafiiyah – (w. 794) mengatakan,
يَحْرُمُ عَلَى الْمُكَلَّفِ اقْتِنَاءُ أُمُورٍ: مِنْهَا: الْكَلْبُ لِمَنْ لَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ، وَكَذَلِكَ ” بَقِيَّةُ ” الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ، الْحَدَأَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ وَالْحَيَّةُ
Haram bagi mukallaf (orang yang mendapat beban syariat) untuk memelihara beberapa binatang, di antaranya: anjing bagi yang tidak membutuhkannya, demikian pula lima binatang pengganggu lainnya, seperti elang, kala, tikus, gagak abqa’, dan ular. (al-Mantsur fi al-Qawaid, 3/80).
Demikian pula dinukil oleh Ibnu Hajar al-Haitami – ulama syafiiyah – (w. 974 H.) dalam Tuhfah al-Muhtaj,
وَيَحْرُمُ حَبْسُ شَيْءٍ مِنْ الْفَوَاسِقِ الْخَمْسِ عَلَى وَجْهِ الِاقْتِنَاءِ
“Diharamkan mengurung lima binatang pengganggu untuk dirawat.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Minhaj, 9/377)
Dalam Hasyiyah al-Qalyubi dan Umairah – ulama madzhab Syafii – dinyatakan,
ويحرم ما ندب قتله لأن الأمر بقتله أسقط احترامه، ومنع اقتناءه
“Binatang yang dianjurkan dibunuh, haram untuk dipelihara. Karena adanya perintah untuk membunuhnya, menggugurkan kemuliaannya, dan dilarang memeliharanya…” (Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah, 16/157).
Kemudian, Ibnu Qudamah – ulama hambali – (w. 620 H.) menetapkan sebuah kaidah,
وما وجب قتله حرم اقتناؤه
”Binatang yang wajib dibunuh, haram untuk dipelihara.” (al-Mughni, 9/373). (Sumber: muhammadiyah.or.id dan konsultasisyariah.com)
Tim Rembulan
Advertisement