Liputan6.com, Jakarta - Berpasang-pasangan merupakan fitrah manusia. Laki-laki dan perempuan diikat oleh tali suci pernikahan. Pernikahan dalam Islam diatur dalam syariat, termasuk memilih kriteria calon istri maupun calon suami.
Pakar Tafsir Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an (2000) menerangkan, Al-Qur’an tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya: “...maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita...” (QS. An-Nisa: 3)
Advertisement
Baca Juga
Meski demikian, Nabi Muhammad SAW menyatakan, biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).
Di tempat lain, Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik (QS. An-Nur: 3).
Saksikan Video Pilihan ini:
Panduan Al-Qur’an dalam Memilih Pasangan Hidup
Alhasil, seperti pesan yang terkandung dalam surah An-Nur ayat 26,
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur: 26)
Al-Qur’an merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.
“Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami.” (QS An-Nisa': 23-24)
Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu yang disebut di atas juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat dikemukakan.
Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani. Ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri.
Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang semuanya harus dilindungi dari rasa birahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawinan antara kerabat sebagai upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat
Advertisement