Sukses

Hukum Merayakan Ulang Tahun Kelahiran dalam Islam

Ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam menetapkan hukum perayaan ulang tahun. Oleh sebab itu, kita sebagai umat muslim semestinya dapat menyikapi secara baik, dan semakin toleran terhadap setiap perbedaan.

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Indonesia dan berbagai negara lain lazim merayakan hari ulang tahun. Apakah itu anggota keluarga, kerabat,  atau rekan kerja.

Ada yang menggelar pesta dengan mengundang orang-orang terdekat, atau hanya dirayakan sendiri secara sederhana di rumah.

Lantas bagaimana hukum merayakan ulang tahun seseorang ini dalam agama Islam? Ternyata para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi permasalahan ini. 

Sebagian ulama meliputi Syekh Ali Jum’ah, Syekh Salman Al-Audah, Syekh Amru Khalid, Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah), dan Lembaga Fatwa Palestina (Darul Ifta’ Al-Filasthiniyyah) mengatakan, merayakan hari ulang tahun diperbolehkan.

Syaratnya, perayaan tersebut tidak mengandung perbuatan yang diharamkan, seperti ikhtilat (bercampur dengan yang bukan mahram).

Mereka beralasan, merayakan hari ulang tahun merupakan salah satu cara mengingat nikmat kelahiran (kehidupan), dan satu momen melantunkan doa bagi orang yang berulang tahun. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT: 

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Artinya: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS Maryam: 33). 

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 4 halaman

Diperbolehkan Merayakan Ulang tahun yang Disertai Doa

Pada ayat di atas, Nabi Isa AS berdoa agar diberikan limpahan kesejahteraan pada hari kelahiran, hari wafat, dan hari kebangkitannya kembali. Dengan demikian, merayakan hari ulang tahun, disertai lantunan doa agar orang yang berulang tahun diberikan umur panjang dan limpahan kesejahteraan, diperbolehkan.

Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadis riwayat Abu Qatadah ra:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ.

Artinya: “Dari Abi Qatadah al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau bersabda: Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus sebagai Rasul atau diturunkan wahyu kepadaku.”

Pada hadis tersebut, Rasulullah menjelaskan alasan beliau berpuasa di hari Senin, bahwa hari itu merupakan hari dilahirkan dan diutusnya Nabi SAW. Artinya, hadis itu memberi isyarat bahwa hari kelahiran seseorang merupakan hari yang penuh nikmat, sehingga wajib disyukuri. Hadis itu juga memberi isyarat kebolehan merayakan hari-hari penuh nikmat, seperti hari kelahiran.

Di samping itu, perayaan hari ulang tahun masuk dalam kategori adat atau tradisi, bukan ibadah, maka tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Karena, bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata. 

3 dari 4 halaman

Pendapat Ulama Lainnya

Kedua, sebagian ulama yang lain, seperti Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Fatwa) menyatakan bahwa merayakan hari ulang tahun diharamkan. Mereka berpedoman pada hadis riwayat Anas ra:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: «مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ». قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ»

Artinya: Dari Anas, ia berkata, Rasulullah saw datang ke Madinah, dan orang Madinah memiliki dua hari raya di mana mereka bergembira. Lalu Rasulullah bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: Kami biasa bermain (bergembira) pada dua hari ini sejak zaman Jahiliyah. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantinya untukmu dengan dua hari raya yang lebih baik darinya, yaitu hari raya Adha dan hari raya Fitri” (HR. Abu Daud).

Pada hadis di atas Nabi SAW hanya menyebutkan dua hari raya, yaitu hari raya Adha dan hari raya Fitri. Karenanya, umat Islam hanya diperbolehkan merayakan kedua hari raya itu semata, bukan yang lain. Dengan demikian, merayakan hari ulang tahun diharamkan, sebab tidak disebutkan dalam hadis di atas.

Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadis riwayat Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud).

4 dari 4 halaman

Dinilai sebagai Tradisi Yahudi dan Nasrani

Perayaan hari ulang tahun dinilai merupakan tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Seseorang yang merayakan hari ulang tahun berarti telah meniru dan menyerupai kebiasaan mereka, dan termasuk bagian dari mereka. Maka, merayakan hari ulang tahun diharamkan dalam Islam.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan para ulama berbeda pendapat tentang hukum merayakan hari ulang tahun. Sebagian ulama menyatakan, perayaan hari ulang tahun diperbolehkan, selama tidak mengandung perbuatan yang diharamkan, karena merupakan salah satu cara mengingat nikmat kehidupan, dan moment untuk saling mendoakan.

Sedangkan, sebagian ulama yang lain mengharamkannya, sebab menyerupai tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Untuk itu bagi kita, keragaman pendapat para ulama tentang hukum perayaan hari ulang tahun dapat kita sikapi dengan baik, dan dapat membuat kita semakin toleran dalam menyikapi setiap perbedaan.