Liputan6.com, Jakarta - Dalam Islam, hak seorang perawan (lajang) dan janda dalam konteks pernikahan berbeda. Seorang janda tidak bisa dinikahkan dengan lelaki pilihan walinya, tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Kesediaan atau izin pernikahan seorang janda, termaktub dalam hadis berikut,
Baca Juga
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا
Artinya, “Janda itu lebih berhak atas dirinya,” (HR. Malik).
Advertisement
Dijelaskan oleh Imam al-Haramain dalam kitabnya:
والثيب لا تجبر؛ فإن كانت بالغة عاقلة لا تزوج إلا بإذنها، ولو كانت صغيرة، لم تزوج حتى تبلغ وتأذن.
Artinya, “Seorang janda tidak bisa dipaksa nikah (oleh walinya) meskipun ia sudah baligh dan berakal sehat. Ia tidak boleh dinikahkan oleh kecuali atas seizinnya meskipun ia masih anak kecil. Lagi pula ia tidak boleh dinikahkan sampai baligh dan mengizinkan dirinya.” (Lihat: Imam al-Haramain, Nihayatul Mathlab, jilid XII, halaman 42).
Mengutip penjelasan Ustadz M Tatam Wijaya di NU Online, pernikahan seorang janda harus perkenan dan keinginan dirinya. Tidak sah dipaksa nikah jika ia tidak menginginkannya meskipun atas dasar kemaslahatan dan wali yang memaksanya adalah wali mujbir (ayah kandung dan kakek). Bahkan, saat dimintai izin pun, izinnya harus terdengar secara lisan, bukan sekadar diam atau mengiyakan dalam hati.
"Berbeda halnya dengan seorang gadis atau perawan. Wali mujbir yang dalam hal ini adalah ayah kandung dan kakeknya, lebih berhak menikahkan putrinya atas dasar kemaslahatannya, baik masih kecil maupun sudah baligh," tulis Tatam, dikutip dari NU Online, Senin (28/8/2023).
Hadis di atas menyebut bahwa janda lebih berhak atas dirinya. Lantas apakah saat menikah dia tidak butuh wali nasab?
Simak Video Pilihan Ini:
Paling Berhak Menikahkan Janda
Menurut mazhab Syafi’i, bukan berarti pernikahan janda diperbolehkan tanpa wali. Bukan pula ia diperbolehkan menikahkan dirinya walaupun atas seizin wali.
وَالْمَرْأَة لَا تزوج نَفسهَا بِإِذن الْوَلِيّ ودونه وَلَا غَيرهَا بوكالة وَلَاولَايَة وَلَا تقبل النِّكَاح لأحد
Artinya, “Seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya, baik seizin wali maupun tanpa wali. Tidak boleh juga menikahkan perempuan lain, baik dengan perwakilan maupun perwalian langsung. Tidak boleh pula perempuan menerima nikah untuk seorang laki-laki,” (Lihat: Syamsuddin Muhammad asy-Syafi’i, Jawahir al-‘Uqud, jilid II, halaman 6).
Atas dasar ini, pernikahan seorang janda tetap membutuhkan wali. Adapun wali yang paling berhak menikahkannya sesuai dengan urutan wali yang telah disepakati para ulama, yakni:
1. Ayah kandung
2. Ayahnya ayah (kakek)
3. Saudara laki-laki yang seayah-seibu (kakak atau adik)
4. Saudara laki-laki yang seayah (kakak atau adik)
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seaayah-seibu (keponakan)
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah (keponakan)
7. Saudara laki-laki ayah yang seayah-seibu (paman),
8. Saudara laki-laki ayah yang seayah
9. Anak laki-laki paman yang seayah-seibu (sepupu).
10. Anak laki-laki paman yang seayah (sepupu).
Jika wali nasab di atas tidak ada atau berhalangan, maka kewalian beralih kepada wali hakim atau wali muhakkam. Dan perlu diperhatikan, urutan wali di atas tidak dipertukarkan. Dikecualikan jika wali yang berhak mewakilkan atau memasrahkan hak kewaliannya kepada wali di bawahnya.
Tim Rembulan
Advertisement