Liputan6.com, Jakarta - Salah satu ulama di Jawa yang selamat dari kekejaman Raja Mataram Amangkurat 1 adalah Syekh Zainal Abidin.
Selama menjadi penguasa Kesultanan Mataram ke 4, antara 1646 hingga 1677, Amangkurat 1Â yang selalu khawatir kehilangan kekuasaan, akhirnya merencanakan pembunuhan kepada ulama di Pulau Jawa. Tercatat 6.000 ulama dan seluruh keluarganya dibunuh oleh pasukan Mataram.
Advertisement
Baca Juga
Syekh Zainal Abidin yang berasal dari Pesantren Giri Kedaton Gresik, berhasil menyelamatkan diri dengan menyeberang ke pulau Madura. Kelak, oleh masyarakat Madura ia diberi julukan Sunan Cendana.
Gelar Sunan karena secara silsilah, Syekh Zainal Abidin memang berdarah biru. Ayahnya Syekh Khotib merupakan cucu Sunan Ampel dari jalur Sunan Drajat. Sedangkan ibunya Nyai Gede Kedaton merupakan cucu Sunan Giri dari jalur Syekh Penambahan Kulon.
Sedangkan kata Cendana disematkan karena konon Syekh Zainal Abidin identik dengan sebuah tongkat dari batang kayu cendana. Tongkat itu selalu dibawa dalam semua aktivitas dakwahnya.
Selain tongkat, di halaman rumah Syekh Zainal Abidin tumbuh pohon Cendana yang besar dan rindang. Konon, ia sering bertapa di bawah pohon itu.
Hingga kini, makamnya Sunan Cendana yang terletak tepat di seberang Pasar Kwanyar, Kabupaten Bangkalan menjadi tujuan wisata religi dan diziarahi ribuan orang setiap tahunnya.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Bertemu Pangeran Cakraningrat
Dalam buku Kisah Para Bhujuk yang diterbitkan Pondok Pesantren Syaikhona Moch Kholil disebutkan bahwa kedatangan Syekh Zainal Abidin ke Bangkalan, disambut hangat oleh Raja Arosbaya saat itu Raden Pratanu yang bergelar Cakraningrat.
Hatinya bertambah senang, setelah Syekh Zainal menyampaikan keinginannya untuk menetap di Bangkalan.
Kebetulan di masa itu, Pangeran Cakraningrat telah memeluk islam dan sedang gencar-gencarnya menyebarkan Islam di wilayah Madura Barat.
Saking gembiranya, Pangeran Cakraningrat membebaskan Syekh Zainal memilih daerah yang ingin ditinggali. Ia akhirnya memilih menetap di sebuah desa pesisir di selatan Bangkalan yang kini bernama Desa Kwanyar.
Di sanalah ia menyebarkan dan mengajar ajaran Islam kepada masyarakat yang umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan.
Bahkan, saking hormatnya kepada Ulama asal Gresik itu, Cakraningrat berhenti memungut pajak dari masyarakat Kwanyar sebagai bentuk penghormatan kepada Syekh Zainal Abidin yang dikenal alim itu.
Dalam menyebarkan ajaran Islam, metode dakwah Syekh Zainal Abidin lebih cenderung memakai pendekatan persuasif.
Setiap hari banyak tamu-tamu yang menemuinya untuk meminta solusi atas segala persoalan yang sedang dihadapi. Saat memberikan solusi itulah, Syekh Zainal Abidin kerap menyelipkan ajaran-ajaran Islam terutama tentang ketauhidan.
Dakwah-dakwah lewat kesenian juga kerap dilakukannya. Konon, Syekh Zainal Abidin adalah ulama pertama yang memperkenalkan kesenian Salabetan dari Jawa dan Samman dari Aceh di Madura.
Salah satu jejak peninggalan Syekh Zainal Abidin yang hingga masih ada dan terasa manfaatkan adalah kolam air di depan Masjid Jami' Kwanyar.
Sumber air ini terbilang unik, karena airnya tawar padahal letaknya persis di pinggir pantai. Konon, Syekh Zainal Abidin hendak membantu seorang musafir yang kesulitan air untuk berwudhu.
Dia kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah dan muncullah sumber air. Bila musik kemarau tiba, masyarakat yang kesulitan air bersih masih memanfaatkan sumber air tersebut.
Advertisement