Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tak kenal dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau adalah salah satu dari empat ulama fikih termasyhur. Di Indonesia ada empat mazhab fikih terpopuler yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali.
Siapa yang menyangka bahwa satu di antara 4 ulama besar ini yaitu Ahmad Bin Hanbal yang merupakan imam besar mazhab Hanbali pernah mendapat penyiksaan keji demi menegakkan agama Allah.
Melansir laman NU online, kisah ini bermula dari sebuah pertanyaan jebakan seorang pendeta Nasrani bernama Yohanes di masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari dinasti Umayyah. Suatu ketika Yohanes bertanya kepada seorang Muslim, “Dalam kitab suci kami, Nabi Isa adalah putra Allah, lantas bagaimana sifat Nabi Isa dalam kitab suci kalian?”
Advertisement
Baca Juga
Seorang Muslim tersebut menjawab, “Sungguh, al-Masih Isa putra Maryam adalah rasul Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimah-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam" (QS. An-Nisa ayat 171). Yohanes menimpali, “Kalau begitu, kalimat Allah dalam Al-Qur’an makhluk atau bukan?”
“Pasti bukan makhluk karena apa yang ada dalam Al-Qur’an seluruhnya kalam Allah dan kalam Allah bukan makhluk,” jawab Muslim itu.
Dengan tersenyum licik, Yohanes mengatakan, “Kalau begitu kita sepakat bahwa Nabi Isa yang merupakan kalimat Allah bukan makhluk tetapi tuhan, karena tidak ada selain makhluk kecuali tuhan.” Berkat strategi ini banyak umat Islam yang masuk ke dalam agama Nasrani.
Saksikan Video Pilihan ini:
Doktrin “Al-Qur’an adalah makhluk”
Melihat hal tersebut semakin gencarlah sekte Mu’tazilah menyebarkan doktrin “Al-Qur’an adalah makhluk”. Mereka berdalih seandainya Al-Qur’an bukan makhluk berarti Al-Qur’an adalah esensi yang menyamai dengan tuhan sebagai yang dahulu (qadim) padahal hanya tuhan yang boleh bersifat dahulu (qadim) tidak selain-Nya.
Awalnya doktrin “Al-Qur’an adalah makhluk” diserukan oleh al-Ja’di bin Dirham. Kemudian, sekte Mu’tazilah di zaman setelahnya semakin melenceng. Mereka mengingkari bahwa Allah memiliki sifat Mutakallim karena kalam Allah adalah makhluk bukan bersifat dahulu (qadim). Mereka meyakini Allah menciptakan kalam berupa suara yang dapat didengar Nabi Musa ketika beliau menerima wahyu di bukit Thursina.
Sekte Mu’tazilah mendapatkan dukungan dan pengikut sangat besar di masa dinasti Abbasiyyah. Awal kejayaan sekte di Mu’tazilah dimulai sejak masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid. Akan tetapi, Khalifah Harun ar-Rasyid menanggapinya dengan memenjarakan setiap tokoh sekte Mu’tazilah yang membuat keributan di kota Baghdad. Bisyr bin Ghiyats al-Marisi, salah satu tokoh besar sekte Mu’tazilah kala itu juga diancam dibunuh oleh sang khalifah.
Tak lama kemudian kepemimpinan berganti. Khalifah al-Ma’mun naik tahta dan memberikan dukungan dan kehormatan bagi para tokoh sekte Mu’tazilah. Sang khalifah juga menyambut sendiri kedatangan Abu Hisyam al-Futhi, tokoh besar Mu’tazilah kala itu ketika bertandang ke istananya dengan penuh hormat. Tak hanya itu, sang khalifah juga mengangkat pejabatnya dari kalangan pengikut sekte Mu’tazilah menggantikan para pejabat yang diangkat di masa sebelumnya.
Penghormatan sangat besar khalifah al-Ma’mun ini dikarenakan beliau adalah murid kinasih dari seorang tokoh Mu’tazilah bernama Abu Hudzail al-‘Allaf. Tak heran, khalifah al-Ma’mun sangat mendukung penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yang senada dengan pemikiran sekte Mu’tazilah.
Tahun 218 Hijriah adalah tahun kelabu di mana revolusi aqidah dikumandangkan. Satu persatu ulama beraliran Aswaja disingkirkan, dipenjara, dan dibunuh dengan dalih tidak meyakini Al-Qur’an adalah makhluk. Hal ini ditandai dengan surat perintah yang dikirimkan kepada Ishaq bin Ibrahim selaku wali kota Baghdad. Surat perintah ini berisi mandat memaksa seluruh ulama kota Baghdad meyakini Al-Qur’an adalah makhluk dan menetapkan hukuman bagi yang menentang.
Kota Baghdad pun banjir darah, di mana-mana terlihat penyiksaan kepada para ulama. Di antara ulama yang tetap gigih menolak doktrin Mu’tazilah adalah Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, dan al-Qawariri. Satu persatu ulama menemukan ajalnya di penjara kota Baghdad. Tak lama kemudian, al-Ma’mun menjemput ajal ketika berada di perjalanan menuju kota Tartus di Syiria.
Rupanya di balik tragedi ini terdapat seorang tokoh kunci bernama Ahmad bin Abu Dawud yang menjabat sebagai perdana menteri sejak zaman khalifah al-Ma’mun hingga zaman khalifah al-Watsiq. Ahmad bin Abu Dawud adalah seorang tokoh yang terkenal licik dan lihai. Ia menyingkirkan siapa pun yang ia incar jabatannya. Terbukti dengan adanya banyak surat penangkapan dan penyiksaan yang ditulis oleh Ahmad bin Abu Dawud tanpa sepengetahuan sang khalifah.
Advertisement
Pembebasan Imam Ahmad bin Hanbal
Sayangnya, al-Ma’mun menganggap doktrin Mu’tazilah sebagai doktrin maha agung yang penting diwariskan kepada penggantinya. Ia menulis “Wahai Abu Ishaq (julukan khalifah al-Mu’tashim) ambillah pelajaran dari hidupku dan ikutlah jejak saudaramu dalam mendukung doktrin Al-Qur’an adalah makhluk.” Selain itu, al-Ma’mun juga mewasiatkan kepada al-Mu’tashim agar jabatan perdana menteri Ahmad bin Abu Dawud tetap dipertahankan.
Setelah kemangkatan khalifah al-Ma’mun maka Imam Ahmad bin Hanbal pun tetap dipenjara di kota Baghdad. Pada era khalifah al-Mu’tashim Imam Ahmad bin Hanbal mendapatkan bonus siksaan beberapa ratus cambukan setiap harinya. Bahkan, sang imam pernah jatuh dan pingsan di tengah derasnya cambuk algojo.
Dikisahkan, suatu ketika Imam Ahmad bin Hanbal dihadapkan kepada khalifah al-Mutashim. Kemudian, sang khalifah bertanya, “Wahai Imam Ahmad bin Hanbal, apakah bukti Al-Qur’an bukanlah makhluk.” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Buktinya adalah ayat Al-Qur’an ‘Allah yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an” (QS Ar-Rahman ayat 1-2). Bukankah dalam ayat ini menegaskan Allah mengajarkan Al-Qur’an bukan menciptakan Al-Qur’an. Sang khalifah pun murka dan memerintahkan algojo untuk menyeret Imam Ahmad bin Hanbal kembali ke dalam penjara.
Keesokan harinya, sang khalifah ingin mengujinya kembali. Sang khalifah bertanya, “Bagaimana tidurmu tadi malam?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Alhamdulillah baik tetapi aku menemukan hal yang ajaib.” Sang khalifah menjadi penasaran, “Apa yang terjadi tadi malam?”
“Aku bangun di tengah malam lantas aku mengambil wudhu dan menjalankan shalat sunnah. Hingga ketika aku berada dalam suatu rakaat aku tak mampu membaca Surat al-Ikhlas sedikit pun. Kemudian, aku mencoba dengan membaca surat yang lain aku pun tak mampu. Aku pun menengok ke sela-sela penjara dan aku melihat jenazah Al-Qur’an. Maka, aku mandikan jenazah Al-Qur’an tersebut dan aku shalati serta aku makamkan,” jawab Imam Ahmad bin Hanbal.
Sang khalifah naik pitam, “Celakalah kau wahai Ahmad bin Hanbal, apakah Al-Qur’an engkau anggap telah mati?” Sang Imam Ahmad bin Hanbal pun menjawab, “Wahai khalifah, bukankah engkau mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk dan setiap makhluk pasti akan mati yang berarti Al-Qur’an juga pasti mengalami kematian.” Tercekatlah lidah sang khalifah dan sejak kejadian itu, Imam Ahmad bin Hanbal mendapatkan hukuman cambuk berlipat-lipat dari sebelumnya.
Terhitung pada masa khalifah al-Mu’tashim Imam Ahmad bin Hanbal di penjara selama 28 bulan. Akan tetapi berkat ketegarannya, para algojo pun menyerah dan membebaskan sang imam dalam keadaan penuh luka dan tak bisa lagi berjalan.
Lambat laun, kondisi kesehatan Imam Ahmad bin Hanbal membaik dan memulai pengajiannya seperti sedia kala. Tak lama kemudian era khalifah al-Watsiq dimulai. Sebagaimana pendahulunya al-Watsiq juga sangat fanatik terhadap sekte Mu’tazilah. Akan tetapi, khalifah al-Watsiq berlaku lebih lembut kepada Imam Ahmad bin Hanbal.