Sukses

Hukum Terima Harta dari Ahli Maksiat, Ini Penjelasan Gus Baha

Begini menurut Gus Baha saat menerima harta dari ahli maksiat

Liputan6.com, Jakarta - Perihal sumber uang atau pendapatan yang tidak jelas atau tidak diketahui asal-usulnya adalah permasalahan serius dalam Islam. Dalam Islam, penting untuk menjaga agar pendapatan yang diperoleh bersumber dari sumber yang halal (thayyib) dan menghindari yang haram (tidak halal).

Berpegang teguh pada prinsip-prinsip kehalalan dalam pendapatan adalah kewajiban, dan mengabaikan hal ini bisa berdampak serius terhadap kehidupan spiritual seseorang.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam pengajiannya menyebutkan, terkadang kita galau jika menghadapi uangnya orang fasik. Misalkan ada orang biasa zina, biasa mabuk, atau bahkan judi.

Lalu ketika sadar, mereka memberikan uang kepada kita, atau bahkan ke kiai. Ini terkadang menimbulkan kegalauan apakah uangnya diterima atau tidak.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Jika Tak Diterima Khawatirnya akan Digunakan untuk Maksiat Lagi

"Ada dua hal, jika ditolak maka uang ini nanti akan digunakan dia maksiat lagi. Tetapi jika diterima lalu uangnya dikonsumsi sendiri untuk makan maka nanti takut ketularan fasik dan ini tidak diperbolehkan," ujar Gus Baha seperti dikutip laduni.id.

Sehingga jalan keluar yang baik menurut Gus Baha adalah diterima saja, lalu kita berikan kepada fakir miskin, atau masjid atau fasilitas umum lainnya yang bermanfaat. Jika dimakan fakir miskin maka diperbolehkan karena darurat. Jika tidak diterima atau dikembalikan kepada orang yang fasik tadi maka khawatirnya digunakan kepada hal haram yang malah menyebabkan dosa.

Gus Baha mengatakan, dulu KH Nursalim pernah bercerita, jika kita ingin alim maka yang masuk ke perut anak isteri adalah hendaknya harta kita sendiri sebagai kepala keluarga. Ketika ada uang pemberian dari siapapun tunggulah sampai lesu muthor atau sangat lemas yang darurat. Karena ketika kita sudah dalam keadaan sangat lemas yang darurat atau terpaksa, maka hal haram pun bisa jadi halal.

Kendalanya, di zaman sekarang setelah makan itu nambah lagi. Maka hal ini bisa diharamkan ketika sumber dana yang dimakan adalah syubhat lalu makannya malah nambah lagi. Sangat tidak dibenarkan dalam syariat.

Ulama dari dahulu itu sudah sering memberi nasihat, terlebih lagi dari sudut pandang syariat. Misalkan ada kisah seorang narapidana kasus narkoba. Ketika orang tersebut memberi aset kepada kiai atau polisi maka secara syariat atau fiqh itu tidak mengapa diterima.

Asalkan uang atau aset ini digunakan untuk hal yang baik. Daripada uang atau asetnya digunakan untuk maksiat lagi. Karena dengan diterimanya uang atau aset besar ini ditangan orang baik, berarti ada penyitaan aset yang potensi dipakai untuk keburukan.

 

3 dari 3 halaman

Zaman Firaun Ibunda Nabi Musa AS Terima Harta Firaun

Tetapi jika hal ini memang dilakukan, maka polisi harus menyampaikan tanggungjawab kepada negara. Atau jika yang menerima kiai maka juga harus melaporkan kepada lembaga terkait misanya lembaga sosial. Tetapi disamping itu hukum tetap terus berjalan sesuai dengan aturan. Bukan malah menjadi suap yang menyebabkan tidak tegas terhadap hukum. Hal ini jika tidak diterima, maka artinya yang berwenang masih membiarkan orang fasik memiliki harta banyak yang nantinya masih memiliki kekuatan untuk berbuat buruk lagi.

Ini seperti kisah di zaman Firaun ketika Ibunya Nabi Musa AS menerima harta dari Firaun yang notabene adalah harta haram. Ibu Nabi Musa beranggapan ketika menerima dinar setiap hari dari Firaun, maka hal ini akan digunakan untuk kesalehan. Tetapi jika Firaun yang menggunakan maka ini dipakai untuk kekuatan kedholiman.

Begitu juga ketika di zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW menyurati Raja Mesir kala itu agar masuk islam tetapi ditolak. Tetapi disisi lain Nabi SAW sering menerima hadiah dari Raja Mesir kala itu. Termasuk menerima seorang budak bernama Ibunda Mariah Al Qibtiyah.

Sehingga dari kisah-kisah ini mari kita ikuti nasihatnya para ulama. Ketika kita menolak harta tersebut itu juga tidak mengapa untuk alasan Wira’i atau menjaga diri dari Syubhat atau haram. Tetapi disi lain, hal ini malah bisa membiarkan harta orang fasik digunakan untuk hal buruk lagi. Sehingga dari segi Fiqih strategis maka hal ini adalah bodoh karena jika harta tidak dikuasai orang shaleh, maka kembali kepada yang tidak shaleh sehingga potensinya digunakan untuk maksiat.

Para Ulama memang sering berbeda pendapat tentang hal ini dari dulu, tetapi jalan tengahnya adalah kita menerimanya sebagai penyitaan, lalu digunakan kepada hal yang baik yang tidak melanggar syariat, dan jangan dikonsumsi.

Jika kita ragu kalau ini adalah syubhat, maka jangan diterima apalagi diberi untuk keluarga. Tetapi jangan juga ditolak karena potensi untuk maksiat lagi. Sehingga bisa digaris bawahi adalah janganlah kita nafsu terhadap sesuatu hal apalagi hal tersebut adalah hal syubhat atau meragukan. Wallahu A’lam.

Penulis: Nugroho Purbo