Liputan6.com, Jakarta - Perayaan maulid baginda Nabi Muhammad SAW merupakan aktivitas yang sejak lama disalahpahami oleh golongan penganut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.
Mereka menyerang paham kelompok yang merayakan maulid dari berbagai perspektif. Secara bersamaan, lewat banyak arah yang berbeda-beda, golongan tersebut dihujani banyak kritik.
Argumentasi paling sederhana untuk membantah tuduhan bid'ah mereka adalah menggunakan perspektif kisah Tsuwaibah. Ia adalah seorang budak perempuan yang dimerdekakan Abu Lahab karena telah mengabarkan ihwal kelahiran Nabi Muhammad.
Advertisement
Rupanya, Abu Lahab gembira luar biasa mendapat kabar bahwa anak saudaranya telah lahir. Nyaris tiada nikmat lain yang melebihi kegirangannya kala itu. Sampai-sampai, seorang hamba sahaya perempuan bernama Tsuwaibah yang mengabarkan kepada Abu Lahab, tidak berpikir lama untuk melepas kemerdekaannya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, inilah yang membuat siksa Abu Lahab diringankan Allah di setiap hari Senin, hari kelahiran atau Maulid Nabi Muhammad.
Baca Juga
Saksikan Video Pilihan ini:
Merdekanya Tsuwaibah, Budak Abu Lahab
Melansir dari laman NU online, dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah (hal. 341) Sayyid Muhammad menulis kisah Abbas bin Abdul Muthalib yang bermimpi bertemu dengan Abu Lahab setelah ia meninggal dunia. Dalam mimpi itu, Abbas menanyakan bagaimana kabar di alam barunya kepada paman Nabi yang sempat bahagia dengan kelahiran anak saudaranya itu.
Abu Lahab menjawab, “Tiada satu kebaikan pun yang sempat kulakukan selain saat aku memerdekakan Tsuwaibah, budak perempuanku itu, sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak saudaraku, Muhammad dan Allah meringankan siksaku di setiap hari senin,” ucapnya di hadapan Abbas. Sekejap setelah itu, Abbas pun terbangun.
Sedikit ataupun banyak, cerita mimpi di atas dapat menguatkan pernyataan bahwa menyambut hari kelahiran baginda Nabi dengan riang gembira adalah perbuatan terpuji. Bahkan sangat terpuji.
Dalam al-Mushannaf (juz 9, hal. 61) imam Abu Bakr Abdurrazzaq bin Himam as-Shan’ani (w. 211 H) disebutkan;
أَنَّ أَبَا لَهَبٍ أَعْتَقَ جَارِيَةً لَهَا، يُقَالُ لَهَا ثُوَيْبَةُ وَكَانَتْ قَدْ أَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَأَى أَبَا لَهَبٍ بَعْضُ أَهْلِهِ فِي النَّوْمِ فَسَأَلَهُ مَا وَجَدَ؟ فَقَالَ: مَا وَجَدْتُ بَعْدَكُمْ رَاحَةً غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ مِنِي وَأَشَارَ إِلَى النُّقْرَةِ الَّتِي تَحْتَ إِبْهَامِهِ فِي عِتْقِي ثُوَيْبَةَ
Artinya: “Dahulu, Abu Lahab memerdekakan seorang budak perempuannya yang bernama Tsuwaibah, Tsuwaibah juga pernah menyusui baginda Nabi. Suatu ketika, salah seorang famili Abu Lahab (Abbas bin Abdul Muthalib) pernah bermimpi bertemu dengannya, lalu bertanya perihal perlakuan yang ia dapatkan di alam barunya. Abu Lahab menjawab, ‘Tak satu pun amal baik yang pernah kulakukan kecuali secuil-seraya memberi isyarah pada lekukan di bawah jempolnya-karena telah memerdekakan Tsuwaibah’.”
Kisah Tsuwaibah ini menjadi dasar kuat legalisasi perayaan maulid Nabi. Logika sederhananya, Abu Lahab saja-yang telah dicap celaka ukhrawi dalam surah al-Lahab-turut mendapatkan keringanan siksa dari Allah lantaran pernah memerdekakan Tsuwaibah sebagai ekspresi bahagianya menyambut kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah. Lalu, bagaimana dengan umatnya yang selalu bershalawat di setiap ba'da sholat dan merayakan kelahirannya tanpa pandang waktu dan tempat, terutama pada bulan Rabiul Awal!?
Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (juz II, hal. 273) mengatakan;
لمّا بشرته ثويبة بميلاد ابن أخيه محمد بن عبد الله أعتقها من ساعته فجوزي بذلك لذلك
Artinya: “Ketika Tsuwaibah memberi kabar gembira kepada Abu Thalib tentang kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah, ia pun langsung memerdekakan budak perempuannya itu seketika juga. Karena hal ini, Allah meringankan siksanya.”
Advertisement
Puasa Hari Senin sebagai Bentuk Syukur Nabi atas Kelahirannya
Inti dari perayaan maulid baginda Nabi Muhammad seperti yang kita saksikan dan banyak dirayakan ini adalah rasa syukur atas kelahiran sang insan paripurna. Siapa yang tidak bahagia atas kelahirannya. Jangankan manusia, pepohonan bahkan bebatuan juga turut merasakannya.
Terlalu banyak dalil yang menjelaskannya, karena perayaan maulid didorong oleh rasa syukur, maka jelas bukan persoalan bagi yang melakukannya. Justru sebaliknya, persoalan besar bagi yang mengharamkan dan membid’ahkannya.
Baginda Nabi saja selalu berpuasa di setiap hari senin, hari kelahirannya. Hal ini sebagai bentuk syukurnya yang teramat besar karena telah dilahirkan di dunia ini dengan segala kesempurnaan dan kebermanfaatannya untuk seluruh jagat semesta. Abu Qatadah meriwayatkan sebuah hadis;
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم سؤل عن صوم يوم إثنين؟ فقال: فيه ولدت وفيه أنزل عليّ
Artinya: “Baginda Nabi ditanya tentang puasa hari senin (yang rutin dikerjakannya)? Nabi menjawab, ‘Karena di hari itulah aku dilahirkan dan hari itu pula waktu diturunkan kepadaku’.” (HR Muslim dalam Shahih Muslim [juz II, hal. 820]).
Bentuk syukur setiap orang bisa berbeda-beda. Tergantung budaya dan tradisi yang berlaku, selama masih berada dalam pantauan syariat. Sayyid Muhammad menulis dalam Hawlal Ihtifal bi Dzikril Maulid an-Nabawi as-Syarif (hal. 24);
وهذا في معنى الإحتفال به إلا أنّ الصورة مختلفة ولكن المعنى موجود سواء كان ذلك بصيام أو إطعام طعام أو اجتماع على ذكر أو صلاة على النبي صلى الله عليه وسلم أو سماع شمائله الشريفة
Artinya: “Inilah substansi perayaan maulid Nabi, kendati dengan format yang berbeda-beda; ada yang dengan berpuasa, memberi makan kepada sesama, berkumpul dalam halaqoh dzikir dan intelektual, membaca shalawat kepada baginda Nabi, atau menyimak pembacaan sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”