Sukses

Mengenang Sosok Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Imam Masjidil Haram Asal Minangkabau

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi merupakan seorang ulama Indonesia asal minangkabau yang menjabat sebagai imam mazhab Syafi'i di masjidil haram.

Liputan6.com, Jakarta - Minangkabau memang dikenal sebagai tanah yang kental akan syariat islam. Bagaimana tidak, bahkan filosofi dari budaya minangkabau adalah ‘adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah’. Maksudnya adat di Minangkabau bersendikan syariat dan sendi dari syariat itu sendiri adalah Al-Qur’an.

Karena hal ini pula banyak ulama hebat yang lahir dari ranah minang salah satunya adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan Imam Besar Masjidil Haram.

Diketahui, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lahir di Sumatera Barat pada tahun 1860. Sebelum belajar di Makkah, ia sempat mengenyam pendidikan di Kweekschool atau Sekolah Guru di Fort de Kock, Bukittinggi. Hingga  pada usia 11 tahun, barulah ia pergi ke tanah suci hal ini sebagaimana dilansir dari laman tanamonews.

Di negeri seberang, karena baik budinya dan keluasan ilmunya, ia disayangi banyak orang termasuk seorang hartawan bernama Syaikh Shaleh Kurdi, dan dinikahkan dengan putrinya yang bernama Khadijah.

Ia menjadi guru bagi para penuntut ilmu dari Nusantara, di antaranya K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Syaikh Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Jamil Jaho, dan lain-lain. Selain itu ia juga diangkat sebagai mufti mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

Menurut Hamka berdasarkan catatan ayahnya, Ahmad Khatib hanya sekali pulang ke Indonesia selama beberapa bulan, setelah itu ia kembali ke Makkah sampai akhir hayatnya. Meski ia menetap di Makkah hampir seumur hidupnya, tapi kecintaannya kepada tanah kelahiran, Minangkabau, tak pernah luntur. 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Tantangan di Makkah

Keluasan ilmu Ahmad Khatib sempat membuatnya tak disukai sebagian ulama di Makkah yang menganggap orang Melayu tak cakap dalam urusan agama.  Ketidaksukaan ulama-ulama ini juga menimpa Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul (ayah Hamka) hanya karena ia salah satu murid Ahmad Khatib.

“Engkau tidak usah mengaji dengan aku lagi, ilmumu sudah cukup untuk mengajar. Pada waktu yang musykil sahaja engkau datang bertanya kepadaku,” ucap Ahmad Khatib kepada Haji Rasul.

Atas perintah gurunya, Haji Rasul pun mulai mengajar di rumahnya. Dari hari ke hari jumlah murid yang mengaji kepadanya semakin banyak sehingga rumahnya tak sanggup menampung lagi. Persoalan ini ia sampaikan kepada Ahmad Khatib. Gurunya menyuruh ia agar pindah ke Masjidil Haram. Haji Rasul pun menurut dan mulai mengajar di suatu tempat di Masjidil Haram yang bernama Bab Ibrahim, di bawah menara putih.

Saat Haji Rasul mengajar, tiba-tiba datang Muhammad Sa’id Babsil, ulama Masjidil Haram. Ia melarang Haji Rasul mengajar di masjid tersebut. Haji Rasul tentu saja kaget sebab ia melihat banyak pengajar lain yang tak dilarang sehingga melahirkan perdebatan yang amat sukar diselesaikan.

Ketegangan itu berakhir saat wakil Sa’id Babsil yang bernama Syaikh Umar Junaid menengahi keduanya. Ia meredakan kemarahan sang pelarang dan menyuruh Haji Rasul pulang .Kejadian itu ia laporkan kepada Ahmad Khatib. Tapi gurunya itu malah tertawa terbahak-bahak. Sang guru lalu bercerita bahwa ia juga saat mula-mula mengajar di Masjidil Haram mengalami hal yang sama. 

Berbagai fitnah menyerangnya, bahkan orang-orang sempat melemparinya dengan batu hingga lampunya pecah. Kedengkian itu, menurut Ahmad Khatib, karena mereka memandang rendah bangsa Melayu, dan merasa lebih tinggi dan paling berhak untuk mengajar di Masjidil Haram. 

Bangsa Melayu dianggap tak mengetahui apapun soal ilmu agama, apalagi mengajarkannya dalam bahasa Arab. Mendengar penjelasan gurunya, Haji Rasul pun pamit hendak meneruskan mengajar di Masjidil Haram. Namun hal itu dilarang sang guru yang menyuruhnya untuk mengajar kembali di rumahnya. Haji Rasul menyampaikan kembali bahwa rumahnya tak mampu lagi menampung murid-murid yang terus berdatangan. Akhirnya ia disuruh mengajar di rumah kemenakan gurunya.

3 dari 3 halaman

Manuskrip Terakhir

Ahmad Khatib wafat di Makkah pada tahun 1916. Lebih kurang empat bulan sebelum berpisah dengan kehidupan dunia, ia sempat merampungkan sebuah autobiografi. Ia menerangkan latar belakang penulisan manuskrip setebal lima puluh dua halaman.

“Murid-muridku memintaku untuk menulis sejarah hidupku dan menjelaskan karya tulisku, maka aku tuliskan kitab ini untuk menjelaskan hal itu agar mereka mengenal keadaanku, termasuk generasi sesudahnya yang ingin mengetahui sejarah hidupku, dari kawan-kawan dari Indonesia dan lainnya,” tulisnya dalam karya Dari Minangkabau untuk Dunia Islam: Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916 M).

Di halaman lain saat menyampaikan nasihat yang menurut penulis pengantar autobiografi ini ditujukan kepada anaknya, ia merasa kecewa dan sedih karena anaknya tidak konsentrasi dengan ilmu.

“Dulu aku sangat gembira dengan kehadiranmu di majelisku, tapi kini aku sedih dan kecewa karena di majelisku tidak ada lagi wajahmu.”

Di bagian lain ia juga menulis, “Inilah nasihat dari lubuk hati, dan air mata terus mengalir di pipi.”

Demikianlah sepenggal kisah tentang Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Semoga dari kisah kehidupan beliau ini menjadi motivasi bagi kita agar terus belajar dan menuntut ilmu agama serta tidak meremehkan diri sendiri agar kelak menjadi insan mulia dengan keilmuan yang baik.