Liputan6.com, Jakarta - Seorang ulama pastilah juga seorang pelajar yang tekun. Masa muda mereka dihabiskan untuk belajar dari satu guru ke guru lain, dari satu pesantren ke pesantren lain.
Baca Juga
Advertisement
Pun begitu KH Muhammad Kholil, ulama asal Bangkalan, Madura. Gelar Syaikhona yang melekat pada namanya hingga kini adalah buah dari ketekunan menerapkannya menerapkan falsafah: tiada hari tanpa belajar.
Saking tekunnya, ada cerita sewaktu nyantri di Pesantren Sidogiri, Kholil muda selalu menangis bila hari selasa dan jumat tiba. Sebab hari itu adalah hari libur di Pesantren yang terletak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur tersebut.
Masa belajar Syaikhona Kholil Bangkalan dapat dibagi dalam tiga periode yaitu periode Madura, Jawa dan Makkah. Lalu siapakah guru-guru Kiai Kholil di Madura?
Simak Video Pilihan Ini:
Kiai Dawuh
Selain belajar kepada ayahnya Kiai Abdul Latif, Syaikhona Kholil tercatat pernah belajar ke Kiai Dawuh pada masa kanak-kanaknya. Bisa dibilang Kiai Dawuh adalah guru pertamanya.
Cara mengajar Kiai Dawuh yang tinggal di Desa Mlajah, digambarkan mirip dengan sosok Filsuf Yunani Socrates.
Kadang ia mengajar sambil berjalan-jalan, kadang di tepi sungai, di tengah hutan atau di bawah pohon yang rindang di atas bukit.
Konon, hanya sedikit santri yang betah dengan gaya mengajar Kiai Dawuh yang spontan dan kondisional itu. Salah satunya Kiai Kholil Bangkalan.
Advertisement
Bujuk Agung
Guru ke dua Kiai Kholil di Madura adalah Syekh Abdul Adhim bin Muhyiddin. Setelah wafat, warga Kota Bangkalan menggelarinya Bujuk Agung. Syekh Abdul Adhim sendiri ulama kelahiran Kota Makkah.
Ia tercatat pernah 20 tahun mengajar di Masjidil Haram. Dari Syekh Abdul Adhim, Kiai Kholil mempelajari tafsir dan ilmu Quran.
Salah satu wiridan yang disenangi Syaikhona Kholil semasa hidupnya adalah wiridan Surah Al-Ikhlas. Wiridan ini diijazah Syekh Abdul Adhim ke Kiai Kholil.
Setelah mengajar di Makkah, Syekh Abdul Adhim memutuskan pindah dan menetap di Pulau Madura hingga akhir hayat. Dialah muqoddam atau orang pertama yang membawa ajaran tariqah Naqsyabandiyah ke Madura.
Kiai Kholil sangat menghormati gurunya ini. Ketika Syekh Abdul Adhim wafat pada 1917, Kiai Kholil ikut memandikan, menyolati hingga menguburkannya.
Konon, ketika menyolati jenazahnya, Kiai Kholil sempat mundur beberapa langkah, ini karena saat itu memancar cahaya dari jenazah Syekh Abdul Adhim.
Syekh Abdul Adhim sendiri dikebumikan di kompleks Pemakaman Umum Kelurahan Mlajah. Letaknya sekitar 500 meter, sebelum masuk ke pasarean muridnya Syikhona Kholil di Desa Martajesah.