Liputan6.com, Jakarta - Pencapaian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Pemilu 1955 sungguh luar biasa. Nyaris dibubarkan pasca-peristiwa Madiun 1948, PKI mendadak menjelma jadi sebuah partai besar.
Kala itu, PKI berhasil menyalip perolehan suara partai yang basisnya tampak lebih mapan. PKI merangsek menjadi salah satu partai dengan perolehan suara terbesar. Secara nasional, PKI berada di peringat keempat, setelah PNI, Masyumi dan NU.
Bahkan, di Cilacap dan sejumlah daerah lainnya, PKI berhasil memenangi suara. Di Jawa Tengah, PKI menggeser partai yang mapan di sejumlah daerah, seperti wilayah Semarang, Sukoharjo, Klaten dan sejumlah wilayah lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Lazimnya pemenang pemilu, PKI memiliki kesempatan besar untuk mendudukkan kadernya sebagai kepala daerah. Saat itu, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Mudah diduga, Cilacap pun akhirnya dipimpin bupati anggota PKI, DA Santosa.
Perolehan suara yang besar dan dipimpin oleh bupati dari partai yang sama membuat kader PKI dan underbouwnya besar kepala. Mereka jumawa. Terlebih, mendekati peristiwa 1965.
Pasalnya, gerakan PKI dan underbouwnya sangat massif, terutama di desa-desa. Apalagi setelah Ketua PKI, Aidit mengidentifikasi tujuh setan desa yang perlu ‘diganyang’ yang konon berdasar riset ilmiah demi kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Tujuh setan desa itu yakni, tuan tanah jahat, lintah darat, pengijon, tengkulak jahat, bandit desa, pejabat korup, dan kapitalis birokrat. Gerakan yang semula hanya berupa kampanye itu lantas berubah menjadi banyak aksi sepihak.
Jargon yang paling banyak memicu konflik adalah tuan tanah. Pangkal soalnya, kader dan simpatisan PKI mengartikan semua orang yang memiliki tanah luas sebagai musuh. Itu termasuk pemuka agama atau kiai di desa-desa.
Kala itu, ulama atau kiai biasanya memang memiliki tanah yang cukup luas untuk membiayai pesantrennya. Segera saja, ketegangan terjadi antara anggota PKI, atau melalui Barisan Tani Indonesia (BTI), dengan kiai atau tokoh agama dan pengikutnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Konfrontasi Santri NU dengan PKI
Konfrontasi itu juga terjadi di pegunungan Cilacap, Jawa Tengah. Saat itu, ada sebuah pesantren dan masjid di Desa Pesahangan, Kecamatan Cimanggu. Pesantren ini terkepung simpatisan atau anggota PKI dan BTI di kampung dan desa lainnya.
Pengasuh pesantren saat itu, KH Muhammad Sayuti tak luput dari intimidasi. Ancaman, cercaan, hingga provokasi kerap membuat santri dan anggota Ansor dan Banser nyaris baku hantam dengan anggota PKI.
Bahkan, beberapa kali tokoh-tokoh PKI dari desa-desa luar mendatangi Kiai Sayuti berbekal golok atau parang. Hanya saja, sesampai di kediaman Mbah Sayuti, nyali mereka ciut. Penyababnya adalah rasa segan kepada Mbah Sayuti, atau bisa jadi, karena santri yang selalu siap siaga.
Saat itu, kekuatan barisan anak muda NU memang tidak bisa dianggap remeh. Banyak dari mereka yang mantan anggota laskar perang masa prakemerdekaan hingga masa agresi militer Belanda, Hisbullah dan Sabilillah.
Selain mengaji, mereka juga berlatih silat dan ilmu hikmah, khas pesantren. Jangan heran jika santri-santri ini kebal senjata dan peluru. Mereka baiat siap mati untuk melindungi bangsa dan agamanya.
“Jadi kalau sudah masuk ke halaman Mbah Sayuti, tidak ada konfrontasi. Bisa diredam,” Haji Kamil, salah satu cucu KH Sayuti, mengisahkan.
Kiai Sayuti, tentu saja sibuk meredam amarah santri dan pengikutnya. Namun, lama-lama, provokasinya semakin kelewatan. Suatu subuh, santri menemukan kotoran manusia teronggok di tengah masjid.
Advertisement
Geger 1965
Bagi golongan muda, selain melecehkan simbol agama, penghinaan kotoran manusia di masjid itu sudah melukai harga dirinya. Tetapi, lagi-lagi Kiai Sayuti melarang santri dan pengikutnya menggempur markas PKI.
“Waktu itu, Mbah Sayuti bilang jangan, besok orang itu (yang berak di masjid) juga mati,” ucap Kamil, yang saat itu masih remaja tanggung.
Sebagaimana santri, mereka takzim, meski tak begitu saja percaya dengan ucapan Mbah Sayuti. Santri dan barisan muda NU pun tak jadi menggempur. Mereka lebih banyak berjaga-jaga di lingkungan pesantren dan kampung yang didiami umat muslim.
Akal santri belum bisa mencerna ucapan Mbah Sayuti yang diyakini melampaui zamannya. Keistimewaannya adalah mampu memprediksi masa depan, yang dalam istilah Jawa bisa jadi yang disebut sebagai ‘Weruh Sakdurunge Winarah’ atau, bisa melihat sebelum kejadian itu berlaku.
Prediksi Mbah Sayuti ternyata terbukti. Terjadilah geger 1 Oktober 1965 di Jakarta. Usai itu, PKI disalahkan dan jadi buruan. Pembantian terjadi di mana-mana, termasuk di Cilacap.
“Orang yang nantang-nantang itu ditangkap tentara, kemudian tidak pulang sampai sekarang (dibunuh),” Kamil mengungkapkan.
Bagi anggota PKI dan Underbouwnya, 1965 adalah kiamat. Mereka diburu, dipenjarakan, atau dibunuh tanpa pengadilan.
Cegah Dendam 7 Turunan
Gejolak balas dendam juga terjadi di Pesahangan. Banyak santri dan barisan NU yang kembali hendak menggempur anggota PKI. Kepercayaan diri meningkat berlipat-lipat karena kini mereka didukung tentara.
Tapi, lagi-lagi Kiai Sayuti mencegah. Ia tak mau santrinya terlibat dalam penyerangan PKI. Bahkan, banyak orang-orang yang sebelumnya condong ke PKI atau anggota keluarganya berlindung di perkampungan atau sekitar pesantren yang diasuh Mbah Sayuti.
“Waktu itu kan tiba-tiba ada yang dijemput (tentara). Dua orang atau tiga orang, terus hilang nggak pulang. Mereka takut, jadinya tinggalnya ya di dekat-dekat situ,” ujarnya.
Kini, Kamil sadar apa yang dilakukan Mbah Sayuti adalah upaya untuk mencegah pertumpahan darah sesama saudara, dan sesama umat manusia. Sebab, saat itu, tak menutup kemungkinan dalam satu percabangan keluarga memiliki kecenderungan politik berbeda.
Dia tak bisa membayangkan seandainya saat itu Mbah Sayuti membiarkan santri beserta Ansor dan Banser menggempur atau menyerang perkampungan PKI. Mungkin saja, dendam akan tercipta hingga tujuh turunan.
Padahal, bisa jadi para anggota atau simpatisan PKI itu hanya terhasut lantaran kampanye propaganda PKI. Mereka tak tahu menahu urusan politik. Bahkan, sebagian di antaranya buta huruf.
“Di gunung kan tidak ada yang mendendam. Sebab yang menangkap atau membunuh itu bukan santri. Tapi tentara. Makanya sampai sekarang tetap damai,” ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Baabussalam , Ciawitali, Cimanggu, KH Amin Mustholih membenarkan salah satu pusat pelatihan Hisbullah dan Sabilillah ada di pegunungan Pesahangan. Salah satunya berada di kediaman KH Sayuti.
“Ya kalau pesantren tidak usah dijaga. Karena di situ kan sudah banyak santri yang otomatis menjaga kiainya,” kata Mbah Amin.
Advertisement