Liputan6.com, Kediri - Mubaligh muda NU asal Blitar Muhammad Iqdam Kholid atau Gus Iqdam membeberkan awal mula berdirinya Majelis Ta’lim Sabilu Taubah. Berdasarkan cerita, awalnya berdirinya majelis ta’lim ini tidak lepas dari 7 garangan yang ingin mengaji.
Baca Juga
Advertisement
Awalnya majelis ta’lim ini memiliki jemaah tujuh orang. Namun, bertambah hari jumlah jemaahnya semakin banyak.
Dalam kurun waktu yang boleh dibilang tidak terlalu lama, jumlah jemaah Gus Iqdam telah mencapai puluhan ribu.
Banyak faktor yang menyebabkan perkembangan majelis ta’lim Sabilu Taubah ini begitu pesat. Selain faktor sosok Gus Iqdam yang mampu merangkul semua kalangan, juga sosok kakek dan kedua orang tuanya yang gemar tirakat dan sangat cinta pada ilmu pengetahuan agama.
Pun demikian dengan metode dakwah yang digunakan Gus iqdam ini sangat membumi. Materi yang beliau sampaikan tidak muluk-muluk dan bukan materi yang berat-berat.
Kalangan awam saja mampu mencerna yang beliau sampaikan.
Berikut ini kisah awal mula berdirinya Majelis Ta’lim Sabilu Taubah sebagaimana disampaikan sendiri oleh Gus Iqdam.
Simak Video Pilihan Ini:
Berawal dari 7 Garangan yang Ingin Mengaji
Gus Iqdam menceritakan awal mulanya beliau mendirikan majelis ini karena permintaaan tujuh orang temannya.
Tujuh garangan yang sehari-hari bersama Gus Iqdam ini merasa heran dan akhirnya menyatakan keinginannya untuk mengaji bersamanya.
Mereka mengaku sudah bosan dengan tingkah lakunya. Intinya mereka menginginkan kehdupan yang lebih baik dan bermanfaat.
“Akhirnya saya pertama ngaji akbar yang didengarkan ribuan orang itu di Lampung. Jadi Camat, Kapolsek, semua itu mendengarkan ceramah saya di Lampung. Oleh kakak saya dipotret. Yang biasa bersama-sama saya, namanya Ilham Jebor, yang biasa nyupiri saya itu ditanya, “Bor, lah Gus e tidak pernah ngopi kemana ya?”, “Di Lampung,” kok lama amat di Lampung?” “Berapa hari?” “Satu minggu,” Seminggu, emang ada apa?” Lalu foto dari kakak saya ini ditunjukkan.” Kisah Gus Iqdam dikutip dari tayangan YouTube NU Blitar, Jumat (13/10).
“Ini luh, ngaji,”
“Wah Gus Iqdam ugal-ugalan kok bisa yang mendengarkan pengajiannya itu bisa ribuan seperti itu. Sudah begini saja, dari pada kita cuma ngomongin orang yang lewat, kadang orang-orang di warung ini begini, ada orang laki-laki jelek perempuannya cantik dikata-katain. Lah singkat cerita, sudah kalau begini saya tidak ingin ngomongin orang, sudah capai. Orang-orang lampung ingin mendengarkan pengajiannya Gus Iqdam ini mengundang harus membelikan tiket, lah Gus Iqdam setiap hari bersama kita masa kita tidak ngaji. Berawal dari 7 garangan tersebut,” imbuhnya.
Advertisement
Ngaji tentang Akhlak
Gus Iqdam juga mengisahkan materi yang tepat untuk disampaikan di tengah-tengah pengajiannya bersama para garangan ini.
“Garangan itu, orang laki-laki yang suka ngomongin orang itu, sama tukang togel itu, saya pulang dari Lampung, “Gus seandainya kita mengaji bagaimana Gus? Seumpama ngaji sedikit sedikit bagaimana Gus?” pintanya sebagaimana diceritakan Gus Iqdam.
“Luh, beneran ini, lah kitabnya apa? Nah salah satu dari garangan tersebut memiliki ayah yang mengaji pada salah seorang Kiai di sana, itu kitabnya Tafsir Jalalain,” kisahnya
“Wah Gus bagaimana kalau ngaji kitab seperti bapakku bagaimana biar tidak kalah saingan?” usul salah seorang garangan.
“Apa?” tanya Gus Iqdam.
“Tafsir Jalalain,” jawabnya
“Wah jangan, kalau kalian jangan Tafsir Jalalain sebab nanti hanya sok pintar saja,” saran Gus Iqdam.
“Yang pas kitab apa ya Gus,” tanya mereka.
“Yang paling pas untuk kalian itu ilmu akhlak, sebab yang lemah dari kalian itu akhlaknya, contohnya ada orang lewat kamu omongin, ini akhlakmu. Tetanggamu beli lemari, kamu bilang katanya memelihara tuyul. Lahini akhlakmu, yang lemah dari diri kita itu akhlak,” jawab Gus Iqdam.
Gus Iqdam tidak bersedia memberikan materi-materi berat semisal fiqih atau tasawuf terlebih dahulu, sebab kondisi saat itu dirasa kurang tepat. Menurutnya materi yang cocok ialah akhlak.
“Kalau kamu diajari fiqih atau tasawuf itu bubar semua. Itu belum kelasnya, akhlaknya dulu dibenahi. Akhirnya saya sodorkan 2 kitab, yang pertama Ta’limul Muta’allim, yang kedua Taisirul Khallaq. Kitabnya tipis-tipis. Akhirnya teman-teman memilih Taisirul Khallaq. Akhirnya saya mendirikan majelis,” kenangnya.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul