Sukses

Tata Cara Shalat Ghaib untuk Jenazah Rakyat Palestina

Konflik Israel-Palestina kembali pecah. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel terus bertambah

Liputan6.com, Jakarta - Perang Israel-Palestina kembali pecah. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel terus bertambah. Begitu pula dengan jumlah korban luka-luka.

Berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan Palestina, jumlah warga Palestina yang tewas di Gaza akibat serangan Israel mencapai 1.354 orang dan 6.049 orang mengalami luka-luka.

Atas peristiwa ini, MUI menyerukan untuk melaksanakan sholat gaib bagi para syuhada Palestina. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah.

Shalat ghaib ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Raja Najasyi meninggal dunia. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW berikut,

Dari Jabir r.a (diriwayatkan) bahwa Nabi saw telah menyalatkan Ashamah an-Najasyi, lalu ia (Nabi) takbir empat kali (H.R. al-Bukhari).

Dalam hadis lain dijelaskan: Dari Abu Hurairah RA (diriwayatkan), bahwa Nabi saw telah memberitahukan kematian Najasyi pada hari kematiannya, beliau (Nabi) keluar (bersama sahabat) ke tempat Salat , lalu beliau atur saf mereka dan bertakbir empat kali.” (H.R. al-Bukhari).

Melaksanakan shalat ghaib untuk rakyat Palestina adalah tindakan yang mencerminkan empati, solidaritas, dan dukungan dari umat Muslim secara luas. Berikut ini tata cara shalat ghaib.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Lafal Niatnya

Mengutip NU Online, untuk niatnya, dapat diklasifikasi tergantung jenis kelamin, jumlah jenazah dan status mushalli-nya apakah menjadi imam, makmum, atau shalat sendiri. 

Bila jenazahnya laki-laki maka lafal niatnya adalah:

أُصَلِّي عَلَى مَيِّتِ (فُلَانِ) الْغَائِبِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî ‘alâ mayyiti (fulân) al-ghâ-ibi arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”     

Bila jenazahnya perempuan, maka lafal niatnya adalah:

  أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَةِ (فُلَانَةٍ) الْغَائِبَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ  فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى   

Ushalli ‘ala mayyitati ‘fulanah’ al-ghaibati arba’a takbiratin fardhal kifayâti imaman/ma’muman lillahi ta’ala.

Artinya, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”   

Bila jenazahnya adalah dua laki-laki/satu laki-laki dan satu perempuan/dua perempuan, maka lafal niatnya:

   أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَيْنِ/مَيِّتَتَيْنِ (فُلَانٍ وَفُلَانٍ-فُلَانٍ وَفُلَانَةٍ/فُلَانَةٍ وَفُلَانَةٍ) الْغَائِبَيْنِ/الْغَائِبَتَيْنِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامَا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى   

Ushallî ‘alâ mayyitaini/mayyitataini ‘Fulânin wa Fulânin—Fulân wa Fulânah/Fulanâh wa Fulânah’ al-ghaibaini/al-ghaibataini arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya menyalati dua jenazah ‘Si Fulan dan Si Fulan/Si Fulan dan Si Fulanah/Si Fulanah dan Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”   

Bila jenazahnya banyak, misalnya korban bencana alam yang menimpa satu desa, maka lafal niatnya adalah:  

  أُصَلِّي عَلَى جَمِيعِ مَوْتَى قَرْيَةِ كَذَا الْغَائِبِينَ الْمُسْلِمِينَ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامَا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى   

Ushallî ‘alâ jamî’i mautâ qaryati kadzâl ghaibînal muslimîna arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.   

Artinya, “Saya menyalati seluruh umat muslim yang jadi korban di desa ‘...’ (sebutkan nama desanya) yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”   

 

 

3 dari 4 halaman

Tata Caranya

Shalat ghaib hukumnya sah sebagaimana shalat jenazah. Begitupula bacaan dan segala caranya sama dengan shalat jenazah.  Dengan empat takbir tanpa rukuk dan sujud. 

Diawali dengan Niat, kemudian membaca surat al-fatihah setelah takbir pertama (takbiratul ihram). Kemudian takbir kedua membaca shalawat atas nabi minimal shalawat pendek “allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad”. Lalu mendo’akan mayit setelah takbir ketiga yang berbunyi:  

 اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa ‘afihi wa’fu anhu (untuk Jenazah laki-laki) Allahummaghfirlaha, warhamha, wa ‘afihi wa’fu anha (untuk Jenazah perempuan) Ya Allah ampuniah dia, berilah dia rahmat dan sejahterakan serta maafkanlah dia

Dan terakhir, setelah rakaat keempat disunnahkan membaca do’a sebelum salam.  

Adapun do’a setelah takbir keempat adalah:

اللهم لاتحرمنا أجره ولاتفتنا بعده واغفرلنا وله 

Allahumma la tahrimna ajrahu wala taftinna ba’dahu waghfirlana walahu

Ya Allah, janganlah Engkau halangi pahalanya yang akan sampai kepada kami, dan jangan Engkau memberi fitnah kepada kami sepeninggalnya serta ampunilah kami dan dia.

4 dari 4 halaman

Syarat Sah Shalat Ghaib 

Syarat sah shalat Ghaib selain syarat-syarat pada umumnya, setidaknya terangkum dalam dua hal berikut:   

Pertama, jenazah berada di luar daerah yang jauh dari jangkauan, atau di tempat yang dekat namun sulit dijangkau. Karena itu, jika masih berada dalam daerah, walaupun jauh dan tak sulit dijangkau, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib.

Demikian pula kalau jenazahnya berada di batas daerah, dan kita dekat dengan tempat tersebut, maka tidak sah melakukan shalat Ghaib.   

Kedua, telah mengetahui atau menduga kuat bahwa jenazahnya sudah dimandikan. Kalau tidak, maka shalat Ghaibnya tidak sah. Namun, bila ia menggantungkan shalat Ghaibnya dengan sucinya jenazah tersebut (bahwa telah dimandikan), shalatnya dihukumi sah. Misalnya, dalam niat ia mengatakan, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan’... dan seterusnya, dengan catatan di sudah suci atau sudah dimandikan ...” maka shalatnya juga sah.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul