Sukses

Jangan Melalaikan Membayar Utang, Ini Ancaman Pedih dari Allah

Melalaikan membayar hutang merupakan dosa besar dan mendapatkan ancaman serius dari Allah SWT.

Liputan6.com, Cilacap - Melalaikan membayar utang merupakan dosa besar dan mendapatkan ancaman serius dari Allah SWT. Bahkan orang yang mati syahid saja ketika memiliki utang dosa utangnya tidak diampuni Allah SWT. Jadi, bagi siapa saja yang memiliki utang harus secepatnya ditunaikan pembayarannya.

Sebab keinginan membayar hutang oleh Allah akan dimudahkan dalam membayarnya. Demikian pula sebaliknya, jika tidak ada keinginan untuk membayar, maka Allah juga akan mempersempit rezekinya.

Rasulullah SAW memperingatkan, melalui hadis berikut ini: 

 مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا، أَدَّاهَا اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا، أَتْلَفَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

Artinya,“Siapa saja yang mengambil harta orang lain (berhutang) seraya bermaksud untuk membayarnya, maka Allah akan (memudahkan) melunasinya bagi orang tersebut. Dan siapa saja yang mengambilnya seraya bermaksud merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan merusak orang tersebut,” (HR. Ibnu Majah).

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Dosa Tidak Membayar Utang, Tidak Diampuni Meski Mati Syahid

Mengutip NU Online, Beratnya dosa orang yang melalaikan hutang, sampai-sampai ia terbunuh dalam keadaan syahid sekalipun, maka dosa hutang tetap tidak terampuni. Demikian sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw.

فِي الدَّيْنِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَقْضِيَ دَيْنَهُ

Artinya, “Dalam urusan hutang, demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, tetapi ia memiliki tanggungan hutang, maka ia tidak akan masuk surga sampai melunasi hutangnya,” (HR. Ahmad).  

Pada saat kematiannya, orang yang berutang tidak mendapat rida Allah swt. Hal itu tercermin dalam sikap Rasulullah saw ketika datang seorang jenazahnya kepadanya untuk dishalatkan. Namun, beliau menolak menshalatkannya.

Beliau bertanya, “Apakah sahabat kalian ini memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Iya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasinya?” Dijawab oleh mereka, “Tidak.” Beliau mengatakan, “Shalatkan saja sahabat kalian itu oleh kalian!” Untungnya, ‘Ali bin Abi Thalib menyela, “Biarlah kewajibanku melunasi hutangnya.” Mendengar demikian, beliau berkenan maju dan menshalati jenazah orang tersebut. (HR. al-Bukhari). 

3 dari 3 halaman

Alami Penyesalan di Alam Kubur dan Akhirat

Setelah berada dalam kubur, orang yang berhutang juga mengalami penyesalan yang luar biasa, sampai-sampai tangannya terbelenggu di tengkuknya, sebagaimana hadits Rasulullah saw, “Orang yang memiliki utang, di alam kuburnya, tangannya terbelenggu. Tidak ada yang dapat melepaskannya hingga utangnya dilunasi.” 

Belum lagi di akhirat kelak, orang berhutang juga kebaikannya diambil oleh orang yang menghutanginya, sebagaimana hadits berikut:

 مَنِ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ أَدَّى الله عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنِ اسْتَدَانَ دَيْنًا، وَهُوَ لَا يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ فَمَاتَ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: ظَنَنْتُ أَنِّي لَا آخُذُ لِعَبْدِي حَقَّهُ، فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَيُجْعَلُ فِي حَسَنَاتِ الْآخَرِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ الْآخَرِ فَجُعِلَتْ عَلَيْه 

Artinya, “Siapa saja yang berhutang, seraya berniat untuk melunasinya, maka Allah akan melunasinya dari orang tersebut pada hari Kiamat. Sementara siapa saja yang berhutang, seraya tidak ada niat untuk melunasinya, kemudian ia meninggal, maka pada hari Kiamat, Allah berkata kepadanya, ‘Aku mengira bahwa Aku tidak mengambil haknya untuk hamba-Ku.’ Maka diambillah kebaikan-kebaikannya, lalu diberikan kepada kebaikan-kebaikan yang lain. Setelah tidak ada lagi kebaikan yang bisa diambil, maka keburukan yang lain dilimpahkan kepadanya.” (HR. Ath-Thabrani). 

Maksudnya adalah kebaikan orang-orang yang berhutang ditambahkan kepada kebaikan-kebaikan orang yang menghutangi. Setelah kebaikan yang berhutang tidak ada, maka keburukan-keburukan orang yang menghutangi dilimpahkan kepada orang yang berhutang. 

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul