Liputan6.com, Jakarta Hari-hari ini, profesi hakim sedang jadi sorotan publik, setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan ini membuka peluang bagi capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada maju dalam Pemilu 2024.
Advertisement
Baca Juga
Bagaimana Islam memandang profesi hakim? Dalam buku Fikih Tata Negara, KH Afifuddin Muhajir, mengibaratkan hakim sebagai profesi yang berada ditubir jurang.
Di satu sisi bisa menjadi sarana mendapatkan ridho dan surganya Allah SWT, di sisi lain profesi hakim rawan terhadap penyimpangan dan pengkhianatan.
Rasulullah Saw, dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, sampai mengibaratkan petaka buruk yang tidak jarang menimpa hakim, ibarat disembelih tanpa pisau.
"Barang siapa menjadi hakim, maka sesungguhnya ia telah disembelih tanpa pisau,". Hadis ini termaktub dalam kitab Bulugh Al Maram.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan timbang yang masuk surga, hakim lebih banyak masuk neraka.
"Hakim itu ada tiga. Satu masuk surga dan dua masuk neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan yang benar, ia masuk surga. Sedangkan hakim yang mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan menyimpang, ia masuk neraka. Hakim yang memberi keputusan tanpa pengetahuan juga masuk neraka,".
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Ulama Menolak Jadi Hakim
Menurut Kiai Afifuddin Muhajir, tingginya risiko profesi hakim sebagaimana diperingatkan nabi tersebut, membuat sejumlah imam madzhab dan ulama besar sekaliber Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah menolak tawaran untuk menjadi hakim.
Karena pentingnya profesi hakim dalam satu negara sebagai tempat mencari kepastian hukum dan keadilan, para fuqaha atau ahli fiqih membuat prasyarat yang harus dimiliki seorang hakim agar terhindar dari penyimpangan. Pertama seorang hakim haruslah seorang yang mujtahid.
"Mujtahid maksudnya seorang hakim harus mengetahui ayat-ayat ah kamu, hadis-hadis ahkam, mengetahui metode ijtihad, termasuk metode penafsiran teks dan kaidah-kaidah lainnya," kata Kiai Afifuddin.Â
Syarat kedua yaitu seorang hakim harus punya sifat 'adelah yakni integritas dan moralitas agama, sebagai kendali diri terdindar dari melakukan penyimpangan. Maka itu, orang fasik yaitu orang yang terjerumus melakukan dosa besar atau melakukan dosa kecil terus menerus tak boleh menjadi hakim.
"Jika sulit menemukan calon hakim yang mujtahid, para ahli fiqih menoleransi tampilnya hakim yang bukan mujtahid dan mengesahkan putusan hukum yang diambil," Kata Kiai Afifuddin.
"Begitu pun bila tidak ada calon hakim yang berintegtitas dan punya moralitas agama, maka dengan alasan darurat boleh mengangkat orang yang paling ringan kadar keburukannya," tambahya.
Selain syarat diatas, keputusan hakim yang tepat dan berkeadilan juga memerlukan suasana yang kondusif baik secara fisik dan psikis. Maka itu, hakim dilarang membuat keputusan dalam keadaan marah atau dalam kondisi sangat lapar dan haus.
"Seseorang tidak boleh mengambil keputusan di antara dua orang dalam keadaan marah," (HR. bukhori dan Muslim).
Advertisement
Tanggung Jawab Pemimpin
Keputusan hakim yang tepat dan benar dalam sebuah perkara, tidak menjadi tanggung jawab hakim semata. Akan tetapi juga menjadi beban dan tanggung jawab pemimpin yang mempunyai wewenang mengangkat hakim.
Menurut Kiai Afifuddin, pemilihan hakim harus mengacu pada integritas dan kapabilitas. Pemimpin harus memilih calon yang memenuhi prasyarat yang ditetapkan para ahli fiqih yaitu seorang yang mujtahid dan punya sifat 'adelah yaitu punya moralitas agama.
"Apabila seorang hakim berijtihad lalu keliru maka ia mendapatkan satu pahala. Dan apabila ia berijtihad lalu benar, maka ia mendapatkan dua pahala," Kata Kiai Muhajir mengutip hadis yang diriwayatkan Muslim.