Sukses

Apa yang Dimaksud dengan Sekufu bagi Calon Pasangan yang Akan Menikah?

Kafa’ah bukanlah syarat sah akad perkawinan melainkan hanya nasihat atau anjuran yang harus diperhatikan oleh calon pasangan yang akan menikah.

Liputan6.com, Jakarta - Pernikahan tidak hanya menyatukan dua manusia yang berbeda tetapi juga dua keluarga beserta dengan kebiasaannya. Penting bagi seseorang yang akan menikah untuk mengenal satu sama lain dengan cara yang dibenarkan oleh syariat

Berpedoman pada Istilah dalam fiqih pernikahan mengenai standar pasangan yang sederajat adalah “kafa`ah” atau sekufu. Lantas apa sebenarnya makna dari sekufu dalam pernikahan?

Secara bahasa kafa`ah bermakna setara atau sama. Makna ini diambil dari surah Al-Ikhlas ayat 4 yang berbunyi,

وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

Artinya: "Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia" (QS. Al-Ikhlas: 4).

Sedangkan dalam kacamata fiqih, kafa`ah dimaknai sebagai dua pasang suami istri yang merasa saling pantas dan tidak merasa malu satu sama lain menyandang status sebagai suami istri karena beberapa hal tertentu.

 

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Faktor-faktor yang Dijadikan Dasar Sekufu dalam Pernikahan

Lebih lanjut mengutip dari laman laduni.id, dalam kitab Al-Fiqih Ala Al-Madzhahib Al-Arba’ah karangan Abdurrahman Al-Jaziry, disebutkan bahwa yang termasuk perkara kafa’ah adalah agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan bebas dari cacat. Para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa’ah.

Tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata thalaq.

Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu Beliau beralasan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (١٣)

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat: 13).

Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama Malikiah mempunyai dua pendapat: Pertama, jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu’. Kedua,  jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu’ dan itu merupakan aib.

3 dari 3 halaman

Pendapat Ulama Lainnya

Imam Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum(pengertian).Sabda Nabi Muhammad  SAW :

“Wanita itu dinikahi karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim ).

Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada Sabda Nabi Muhammad  SAW: Maka carilah wanita yang taat kepada agama. Segolongan yang lain berpendapat bahwa faktor nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap bebas dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa’ah.

Di kalangan mazhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak).

Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa’ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa’ah.