Liputan6.com, Magelang - Ulama besar Kiai Raden Santri atau Pangeran Singosari adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan dengan garwo anpil. Ia merupakan kakak tiri dari Panembahan Senopati, Raja Mataram Islam pertama.
Meskipun lahir dari istri selir, Kiai Raden Santri mempunyai peranan yang cukup besar di kerajaan maupun di masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
Pangeran Singosari merupakan putra dari Ki Ageng Pemanahan yang memiliki peranan yang sangat penting bagi kerajaan Mataram.
Menurut Adib dalam Jurnal Penelitian Agama dan Masyarakat, Kyai Raden Santri akrab dengan Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Di awal perkembangan Mataram, melakukan perluasan wilayah dan Kyai Raden Santri sebagai panglima perang Kerajaan Mataram. Perlahan Kyai Raden Santri bosan di kerajaan dan pamit kepada Sutawijaya untuk mengembara.
Pada tahun 1660 M Kyai Raden Santri sampai di Dusun Santren, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah (Wawancara dengan Pak Fauzan sebagai juru kunci kompleks makam Gunungpring, pada tanggal, 20 Oktober 2018, pukul 11:15 WIB).
Kiai Raden Santri sesampainya di Magelang, tinggal dan menetap di Dusun Santren. Di sana dia lebih akrab dengan panggilan kiai daripada Pangeran Singosari, karena kedatangannya untuk berdakwah, banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa ia adalah pangeran dari Kerajaan Mataram Islam. Sisa umur hidupnya ia gunakan untuk berdakwah dan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu setelah ia meninggal (1810 M), makamnya yang berada di Gunungpring masih kerap diziarahi.
Kemudian penting diketahui, selain sebagai seorang pangeran, Kyai Raden Santri ternyata seorang wali yang memiliki banyak karomah. Berikut ini karomah Kiai Raden Santri yang dirangkum dari berbagai sumber.
Simak Video Pilihan Ini:
Membuat Sendang dengan Tongkatnya
Kiai Raden Santri merupakan seorang alim yang juga merupakan waliyullah. Waliyullah ialah orang yang dekat dengan Allah SWT dan dibekali beberapa karomah atau kemuliaan.
Dikisahkan, menjelang Kerajaan Mataram berdiri, Kiyai Raden Santri pernah menjabat sebagai Senopati Perang yang bertugas mengajarkan salat kepada para prajurit.
Saat akan mengajarkan salat kepada para prajurit, di dusun itu Kiyai Raden Santri tidak menemukan air untuk berwudlu.
Kemudian Kiyai Raden Santri berdo’a kepada Allah agar diberikan air. Lalu Kiyai Raden Santri membuat sendang dengan tongkatnya dan dengan izin Allah, sendang itupun memancarkan air, bahkan hingga kini sendang tersebut tak pernah berhenti memancarkan air, meski di musim kemarau sekalipun. Sendang itu terletak di Dusun Kolosendang, Desa Ngawen, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang.
Disebutkan pula, saat Kiyai Raden Santri menetap di Desa Santren, ia suka berkhalwat atau menyepi di puncak bukit Gunung Pring.
Advertisement
Menghentikan Banjir Lahar Dingin
Mengutip Laduni.id, ketika terjadi banjir besar dari letusan gunung Merapi yang konon meluap sampai kawasan Candi Borobudur. Setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Raden Santri sering menyepi untuk mujahadah di bukit Gunungpring.
Saat pulang dari Bukit Gunungpring ke dusun Santren di perjalanan melewati sungai terjadi banjir yang sangat besar. Kemudian Raden Santri berkata, “Air berhentilah kamu, aku akan lewat.” Maka banjir itu berhenti dan mengeras hingga menjadi batu –batu yang cadas dan menonjol.
Sampai sekarang dusun tersebut dikenal dengan nama Watu Congol (batu yang menonjol) yang masih berada di Muntilan, dekat dusung Gunungpring. Kyai Raden Santri tergolong ulama awal yang menyebarkan agama di wilayah sekawan keblat gangsal pancer-nya gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo. Keturunan Kyai Raden Santri berturutan adalah Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, Kyai Krapyak III, Kyai Harun, Kyai Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajak, hingga Kyai Dalhar, dan termasuk Kyai Ahmad Abdulhaq.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul