Sukses

Kisah Karomah 3 Wali Sumenep, Terbang Naik Pelepah Pisang hingga Hidupkan Ikan yang Telah Dibakar

Ambunten merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Di Wilayah ini cukup terkenal dengan kisah waliyullah dan karamahnya.

Liputan6.com, Sumenep - Kisah tiga waliyullah yang memiliki karomah menakjubkan ini terjadi di Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Hal ini wajar sebab dahulu dua desa di kecamatan Ambunten merupakan tempat Keraton Sumenep yaitu di desa Kelesa Dusun Mandaraja (Panembahan Mandaraja) dan di Desa Bukabu (Pangeran Bukabu).

Mengutip wikipedia, di wilayah ini juga terdapat  dua tempat yang berkaitan dengan karomah wali. Yakni sungai dan laut.

Ambunten memiliki pantai yang sangat indah dan masih alami yang terletak di Desa Beluk Ares yaitu Pantai Tanerros dengan bebatuan serta karang yang sangat indah dan alami.

Sementara Sungai Ambunten sering dijadikan sebagai pelabuhan perahu-perahu nelayan. Perahu-perahu nelayan diikatkan pada pohon-pohon kepala yang berderat di tepi sungai, pada masing-maing pohon kelapa terdapat dermaga untuk jalan meniti yang terbuat dari sebilah atau dua bilah bambu yang diikat melintang di batang kelapa.

Berikut ini kisah 3 karomah wali yang berada di kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Kiai Macan, Terbang Dengan Pelepah Pisang

Mengutip sumenepkab.go.id, bahwa dahulu ada seorang waliyullah yang memiliki karomah yang bernama Kiai Macan alias Raden Demang Singoleksono.

Dikisahkan ia memiliki banyak karomah, salah satunya ialah ketika ada warga kemalingan, cukup dengan menabuh kentongan kecil, maka saat itu juga si maling menyerahkan diri sekaligus membawa kembali barang curiannya. 

"Kiai Macan juga dikenal dengan karomahnya yang menaiki pe-sapean pappa (pelepah pisang yang biasa dibuat sapi-sapian oleh anak kecil---pen) sembari terbang saat mengambil panji-panji Keraton Sumenep yang dibawa ke Blambangan. Pulangnya beliau naik Mondung (Hiu; red) seorang diri," kata Nyai Hajjah Munifah, salah satu keturunan Kiai Macan di Desa Ambunten Timur, pada Media Center. 

3 dari 4 halaman

Kiai Rausyi, Mendatangkan Banyak Ikan Laut

Syahdan, di suatu masa sekitar pertengahan tahun 1800-an hiduplah seorang ulama besar di Ambunten bernama Kiai Rausyi. Kiai Rausyi masih memiliki hubungan darah dengan Kiai Macan Ambunten. Beliau juga disebut masih berkerabat dengan Kiai Mahmud Aengpanas, ayah Kiai Imam, pendiri pesantren Karay, Ganding. 

"Suatu ketika Kiai Mahmud diriwayatkan bertamu ke kediaman Kiai Rausyi yang berada di pinggir Sungai Pandi, yang sekarang masuk wilayah Desa Ambunten Tengah,"kata Kiai Raheli, yang leluhurnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kiai Rausyi, pada Media Center. 

Sesampainya di kediaman Kiai Rausyi, Kiai Mahmud berkata pada Kiai Rausyi bahwa dirinya ingin makan ikan laut. Lalu Kiai Rausyi bergegas mengambil jaring yang biasa digunakan para nelayan dan menghamparkannya ke halaman rumah beliau. Seketika atas ijin Allah, jaring dipenuhi oleh ikan-ikan laut yang masih hidup dan menggelepar di jaring tersebut. 

"Akhirnya dimasaklah ikan-ikan tersebut oleh Kiai Rausyi dan dihidangkan kepada Kiai Mahmud," cerita Kiai Raheli. Setelah selesai makan, Kiai Rausyi seperti yang ditirukan Kiai Raheli berkata pada Kiai Mahmud," sekarang giliranmu, saudaraku".

4 dari 4 halaman

Kiai Mahmud, Menghidupkan Ikan yang Sudah Dibakar

Mendengar itu, Kiai Mahmud mengambil sisa-sisa ikan bakar yang kepalanya masih menyatu dengan tulang sampai ekor, namun sudah tiada berdaging, karena telah dimakan. Ikan bakar tersebut lalu dilempar oleh Kiai Mahmud ke sungai Pandi yang tak jauh dari situ. Ajaib, ikan yang tak berdaging itu atas ijin Allah hidup dan berenang-renang di sungai. 

"Ikan tersebut hingga saat ini dari cerita warga kadang menampakkan diri. Namun tidak semua orang bisa menjumpainya di Sungai Pandi," kata Raden Imamiyah, keturunan Kiai Macan sekaligus Kiai Mahmud, yang ada di Ambunten.

Namun, konon, seperti yang dikatakan Imamiyah, biasanya warga atau orang yang melihatnya tidak lama hidup alias pendek umurnya.

"Dari dulu memang dikenal seperti itu. Tapi yang namanya mati itu ya tetap dikembalikan pada ketentuan Allah. Sudah ajalnya," tutup Imamiyah.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Â