Liputan6.com, Jakarta - Ternyata, kisah awal pernikahan Gus Iqdam dan Ning Nila ini unik, tidak seperti kisah-kisah pernikahan orang lainnya.
Panggilan di antara keduanya juga sempat lucu. Lazimnya dari kalangan pesantren, suami istri ini panggilannya Abah dan Umi.
Tetapi di awal pernikahan ternyata di antara keduanya masih canggung. Jadi mereka tidak menggunakan panggilan abah umi tadi.
Advertisement
Namun keduanya panggilnya Gus dan Ning.
Baca Juga
Makanya, panggilan suami istri tampak lucu. Kepada suami sendiri ning Nila memanggil Gus, sementara Gus Iqdam memanggil istrinya dipanggil ning.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Gus Iqdam Dipanggil Abah Setelah Punya Anak
Dikisahkan oleh Gus Iqdam seperti video yang diunggah di akun @dekeng.pusat. Dalam video pendek tersebut Gus Iqdam berkisah. Awal nikah Ning Nila memanggil dirinya gus. Dirinya juga membalas dengan panggilan ning. Ini tidak lazim bagi suami istri.
"Mbiyen durung due anak Novel, bojo kulo ngundang kulo niku gus," ujarnya.
"Gus wungu rumiyin wancine subuhan (Gus bangun dulu, waktunya subuhan-pen)," ujarnya mencontohkan salah satu obrolan dirinya dengan istrinya.
"Iyo ning, aku yo ngono. Jan ingah ingih tenan aku. Iki dagelan opo, aku yo ngono. Gus nggoh jemaah, tak jawab inggih nyai, gus ditimbali ibu," ujar Gus Iqdam sambil terkekeh mengenang masa lalunya.
"Barang aku iso ngekei Novel, bojoku lagi percoyo aku nek lanang tenan. Akhire diceluk Abah. Ora koyo koe pacaran 3 tahun,wis nyelukke mamah papah, jebul nikahe karo wong liyo," kata Gus Iqdam disambut tawa jemaah.
Sekarang Gus Iqdam panggil istrinya mah, jika disingkat mah, dan Ning Nila panggilnya abah. "Mah mah iku dudu mamah papah, umah, soko kata umi, artinya ibu," tandas Gus Iqdam.
Advertisement
Filosofi Panggilan Gus dan Ning
Mengutip langit7.id, masyarakat Indonesia, khususnya di Tanah Jawa mengenal tokoh-tokoh dari lingkungan pesantren dengan panggilan ‘Gus’.
Ada beberapa tokoh bergelar gus terkenal seperti KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, KH Ahmad Mustofa Bisri yang dipanggil Gus Mus hingga KH Ahmad Bahauddin Nursalim yang kerap disapa Gus Baha.
Gus Syauqie dari Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto menjelaskan, sapaan gus ini lekat dengan bangsawan, keturunan darah biru Kiai. Panggilan gus hanya dialamatkan kepada putra laki-laki dari seorang Kiai.
"Itu adalah panggilan kehormatan. Jika perempuan, maka dipanggil ning, laki-laki dipanggil gus," kata Gus Syauqie di kanal Sakti TV.
Tidak semua orang bisa mendapatkan panggilan ini. Hanya putra-putri keturunan dari kiai dan nyai di pondok pesantren yang bisa dipanggil gus dan ning. Gus sendiri memiliki makna filosofis yaitu bagusi pekerti yang artinya budi pekerti yang luhur. Sementara ning memiliki filosofi beningno ati yang artinya menjernihkan hati.
Sebenarnya Bebannya Sangat Berat Jika Dipanggil Gus dan Ning
"Ini menurut saya, berat sekali kalau sudah menyandang gelar seperti itu, dia harus menjadi contoh buat para pengikutnya, atau para followernya. Begitu juga dengan sebutan ning, harus bisa jernih hatinya," kata Gus Syauqie.
Selain panggilan gus, ada juga panggilan lora. Itu sebutan untuk putra kiai yang ada di wilayah Madura. Kalau di Jawa Barat, ada panggilan lain yakni kang atau aceng. Gelar ini diberikan kepada anak kiai yang ada di pesantren di daerah Jawa Barat.
"Kang, akang, aceng, itu hampir sama dengan gus, meskipun lebih populer gus. Sebenarnya panggilan kiai, bu nyai, gus, dan ning, itu hanya sebagai identitas saja,. Tidak lebih. Sama halnya dengan panggilan ning, kang," tutur Gus Syauqie.
Gus Syauqie menegaskan, panggilan kiai, bu nyai, ataupun gus tidak lantas menciptakan kasta di lingkungan pesantren. Namun justru gelar menandakan penyandang memiliki tugas berat.
"Di dalam dada mereka ada setumpuk tanggung jawab moral, keilmuan, dan akhlak, yang mengantarkan santri pada tujuan tafaqquh fiddin. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat," pungkasnya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement